SKRIPSI!!!
Iya,
saya tahu tanda seru satu saja sudah cukup secara bahasa, tetapi saya sedang
ingin berteriak sekencang-kencangnya menyebut buku itu. Ini bukan sekadar
tentang skripsi sebagai syarat lulus dan bergelar sarjana, melainkan lebih
mengenai skripsi sebagai anak pertama saya. Ya, saya mencintainya!
Barangkali
pembaca setia blog ini akan bosan membaca: ah, skripsi lagi, skripsi lagi.
Hahaha…, berapa kali pun saya bercerita tentangnya, saya tak jemu. Kalau kamu
bertemu saya dan meminta saya menceritakan tentang skripsi saya, barangkali
saya akan berkisah dengan sukacita (ya tapi jangan beneran ditanya juga, ini kan cuma basa-basi..).
Ah,
ya, sabar sebentar, duhai pembaca yang budiman (dan pakdiman). Tahanlah
keinginanmu untuk menekan tombol silang di pojok kanan atas monitormu itu. Em,
tapi, saya tidak mau memaksa juga, sih. Tekan saja jika kaumau dan jangan
lanjut membaca (meski saya akan lanjut menulis).
Skripsi
barangkali bagi sebagian orang berarti “cuma”, “sekadar”, “huft”, atau apa.
Namun, bagi saya, sekali lagi, skripsi itu anak saya yang saya lahirkan dengan
penuh… hahaha, lebay, sih, … penuh
rasa.
Oh,
ya, kalau kamu belum tahu judul skripsi saya, ini saya beri tahu. Judulnya:
“Representasi Kiai dalam Kumpulan Cerpen Lukisan
Kaligrafi Karangan A Mustofa Bisri: Suatu Tinjauan Semiotika” (2011).
Mulanya saya ingin menggunakan pisau dekonstruksi, tapi nggak jadi. Waktunya nggak cukup!
Begini ini penampakan depan skripsiku |
Iya,
waktu.
Saya
mengandung skripsi dalam tubuh saya dari akhir tahun 2006 – akhir tahun 2011.
Dia tua dalam kandungan! Mengapa demikian?
Klasik.
Barangkali
kamu juga merasakannya. Barangkali juga pengalaman saya nggak lebih dari seujung kuku pengalamanmu. Saya kerja.
“Keasyikan
kerja” atau “sudah kenal duit jadi malas selesaikan skripsi” bukan komentar
yang tepat untuk saya. Saya lumayan perencana dalam hal semacam ini. Saya
menargetkan diri lulus empat tahun sejak saya masuk, tahun 2003. Setelah itu
saya baru berencana kerja karena saya perempuan dengan satu fokus—nggak pandai membagi fokus sebagaimana
kebanyakan perempuan lain.
Saya
lakukan berbagai cara untuk mewujudkan niat lulus kuliah empat tahun. Ambil SKS
lebih banyak, ambil semester pendek dengan tujuan kuliah percepatan (bukan
perbaikan), dan seterusnya hingga semua mata kuliah saya tuntaskan. Tinggal
skripsi.
Aha.
“Tinggal”.
Kerja
sebetulnya bukan keinginan saya. Saya ingin menyelesaikan kuliah dulu. Namun,
saya mesti bekerja. Biasa, masalah keluarga. Saya, si anak manja yang nggak biasa kerja, mendadak menjadi
tulang punggung keluarga. Pernah kamu bayangkan gaji pertama sebesar
Rp125.000,00 untuk menghidupi empat orang selama sebulan?
Mahakuasa
Allah.
Ketika
itu saya membuat opsi untuk diri saya:
1. Cuti kuliah
2. Melanjutkan kuliah dengan entah
biaya dari mana (karena honor sebagai pengajar bimbel jelas tak cukup)
3. Berhenti kuliah
Opsi
ketiga itu paling pahit. Jika opsi itu saya ambil, saya mematahkan banyak hati:
keluarga saya, teman-teman saya, terlebih diri saya sendiri. Saya tidak mau.
Ya,
sekarang saya bisa keras sekali bilang “Saya tidak mau”, tapi dulu itu pilihan
yang berpeluang paling besar dipilih. Namun, akhirnya saya memilih cuti untuk
mengumpulkan biaya kuliah. Pilihan ini diambil atas dukungan orang-orang
terdekat saya. Mereka berhasil membuat saya percaya bahwa rezeki saya belum
selesai.
Kamu
tahu, kamu akan gila menjadi teman-teman saya. Mereka berusaha memberi dukungan
dengan caranya sendiri-sendiri. Saya pernah meyakini mereka hampir putus asa
memegangi tubuh saya agar tetap berdiri karena saya sendiri ketika itu bahkan
tidak mau tegak di atas kaki saya.
Mereka
hebat.
Dari
mulai masuk skripsi saya tidak konsul. Kalau ada orang bertanya “Ika Fitriana
ke mana?”, teman-teman saya dengan fasih menjawab “Bertapa”. Saya baru bisa
turun gunung alias ke kampus lagi—untuk mengurusi skripsi—awal tahun 2010.
Ketika itu hanya tinggal beberapa yang masih di kampus. Sisanya sudah menjadi
sarjana pendidikan atau sarjana sastra.
Setelah
semua itu, tentu kini kamu tahu, alasan skripsi menjadi buku paling berpengaruh
nomor satu. Ada doa, keringat, dan suara banyak orang di sana. Kamu barangkali
bisa membayangkan menjadi saya, orang yang akhirnya berhasil melahirkan dengan
selamat padahal berulangkali berniat aborsi. Kamu barangkali bisa membayangkan
menjadi saya, orang yang akhirnya menyadari ada banyak tangan terulur, ada
banyak telinga terjulur, cuma untukmu!
Melalui
ini, saya mengingatkan diri saya bahwa saya mesti ingat mereka, mengingatkan
diri saya untuk selalu kirim doa, mengingatkan saya bahwa saya menjadi karena
mereka memberi. Saya tahu, terima kasih tidaklah cukup, tapi ya… terima kasih.
(10 November 2013)
Ah iya Ika, aku jadi inget skripsiku. Buku penuh perjuangan ya itu :")
BalasHapusbangeut, Vi! Hahahaha..
Hapusskripsi penuh perjuangan :D
BalasHapusiyes. :D
Hapussemoga selalu dicukupkan :)
BalasHapusamin. :)
Hapus