Selasa, 03 Desember 2013

Apa Pernikahan Membuatmu Bahagia?

Bekasi, 5 November 2013

Teruntuk Zus seantero semesta

          Zus,
          pernahkah Zus berada dalam titik ingin sekali menghentikan lelaki yang lewat depan rumah lalu memintanya menikahi denganmu?
          Aku pernah.
          Saat ini.
          Aku ingin sekali menyetop orang lewat lalu menyuruhnya menikahiku untuk membungkam semua mulut comel yang merasa tahu tentang aku.
          Aku tahu, bahagiaku taruhannya.
          Aku lantas berpikir, apa kebahagiaan masih menjadi sesuatu yang penting?
          Mengapa orang-orang, sering juga dari kaum kita, berpikir bahwa “kalau belum menikah kita belum bahagia”? Mengapa orang yang belum menikah dianggap orang yang paling patut dikasihani? Malah ada yang menyebut “belum laku”. Memang apa yang kaujual, hei?
          Apa orang yang sudah menikah sudah pasti bahagia?
          Apa menikah cepat membuat orang berbahagia?
          Sejak kapan pernikahan menjadi kompetisi yang berhadiah kebahagiaan?

          Zus,
          barangkali kebahagiaan (dan kebebasan?) menjadi konsep imajiner yang terus-menerus dikuliti hingga ditemukan wujud konkretnya oleh banyak manusia. Barangkali salah satu pelakunya aku.
          Entah, ya, Zus, sejauh ini aku merasa bahagia, tetapi tidak dalam penglihatan orang-orang di luar diriku. Berkali-kali pertanyaan sekitar pernikahan diajukan kepadaku (mungkin juga kepadamu?).
          Aku sekarang mungkin dilabeli jomlo (dalam pengertian yang paling leksikal—dan paling sentimen mungkin). Orang-orang lantas jatuh iba seakan-akan aku ini entah apa (tidak terbayang olehku apa yang bisa kujatuhi iba tanpa dia mesti tersinggung).
          Kautahu, Zus,
          belum lama ini ada seorang kawan yang bisa dikatakan baru kenal menanyakan (lagi-lagi) persoalan pernikahan. Mula-mula ia terkejut mengetahui usiaku kemudian ia terkejut karena aku belum menikah lantas ia dengan gesit tanpa diminta mulai memberikan nasihat. Aku lumayan hafal pola ini karena orang-orang sering melakukan ini kepadaku.
          Ia pula memvonis bahwa aku terlalu sibuk bekerja, bahwa aku tidak memikirkan masa depan, bahwa bila mencapai kepala tiga perempuan tak bagus untuk hamil, bahwa nanti anak-anak masih kecil aku sudah tidak bekerja, dan blablabla lainnya. Kalau dalam keadaan sehat, pikiran tenang, mood oke, mungkin aku akan menambahkan hal lainnya. Lah, ini?
          Aku sedang pusing memikirkan pekerjaanku hari itu, ditambah vonis, dan nasihat-nasihat—yang “Hei, itu basi! Aku sudah tahu!”—membuatku mengeluarkan senyum “sebaiknya kau diam atau kulakban mulutmu!”.

          Zus,
          pada masa-masa seperti ini akan ada yang menyodorkan alternatif perjodohan kepadamu. Terus terang, demi upayaku mendapatkan ketentraman (dan tentu upaya mencapai kebahagiaan) aku tidak menolak cara ini.
          Tidak.
          Aku bukan mau bilang aku sekarang sedang dijodohkan. Aku cuma mau cerita, aku pernah dijodohkan. Aku tidak tahu efeknya kalau ini dibaca para broer di luar sana. Toh, kini aku tak begitu ambil peduli.
          Waktu usiaku sekira dua satu, aku pernah ditawarkan konsep ini. Seorang lelaki usia dua enam menyukaiku tanpa kutahu lalu ia meminta orang tuanya untuk bilang ke orang tuaku. Aku meradang, aku tidak kenal dia!
          Usiaku dua satu dan aku jatuh cinta dengan seorang lelaki yang tak mau mengakui perasaannya. Aku mesti bilang apa kepada ibu dan bapakku?
          Aku kesal. Kepada orang tuaku. Kepada si lelaki dua enam. Kepada orang yang kujatuhi hati.
          Ibuku menikah usia 22 sedangkan bapakku 27. Jadi kau tentu mengerti, usia dua satu aku sudah bisa menikah.
          Lelaki usia dua enam bukan berasal dari lingkunganku sehari-hari. Aku tidak tahu siapa dia, bagaimana dia, blablabla. Dalam kacamataku kala itu, bila dia lelaki, dia mesti mendatangiku sendiri sebagai lelaki, bukan lewat orang tuanya. Tentu aku akan jauh lebih menghormatinya.
          Pria yang kujatuhi hati. Kala ia tahu aku dijodohkan, ia malah mendorongku. “Aku nggak bisa ngasih apa-apa buat kamu,” katanya.
         
          Zus,
          mendengar itu ada yang sakit di dada sini. Di rumah aku bertengkar hebat dengan orang tuaku. Aku akhirnya menyetujui untuk “diperkenalkan”, bukan “dijodohkan”. Ini semata agar ia yang kujatuhi hati punya kesempatan yang sama. Ah, barangkali egonya terluka aku melakukan ini: menjadikan ia sebagai bahan pilihan, tetapi aku ingin ia yang maju. Namun, kautahu jawabannya… . Ia mundur.
          Aku hanya bisa menangis di balik punggungnya.

          Zus,
          kebahagiaan itu apa?

          Zus,
          bisakah kita merdeka dan menentukan kebahagiaan kita sendiri?

          Zus,
          apa pernikahan membuatmu bahagia?

(ini tanggapan dari Zus Aprie: "Surat Terbuka untuk Zus Ika")

6 komentar:

  1. Zus, mari ke mari http://aprilecuma.blogspot.com/2013/12/surat-terbuka-untuk-zus-ika.html

    BalasHapus
  2. baahhhhh! baru nyadar ini surat untuk (suz) Aprie, ihi, tapi keren sih! curcol yang membuka wawasan dan semoga bisa menampar orang kepo nan sotoy di luar sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini surat untuk seluruh perempuan di muka bumi, Zus. Aku curhat gitu, Zus. Menganggap diri macam Kartini itulah. Zus Aprie menanggapi tulisan di atas di blognya. Kamu mau memberi tanggapan via postingan blog juga? Boleh. :)

      Hapus
  3. Suz, semoga setelah saya berkomentar di sini, Suz Ika bisa menikah dengan lelaki yang bisa memberi kebahagiaan yang diharapkan ya.. :)

    BalasHapus