Bekasi, 5 November 2013
Teruntuk Zus seantero semesta
Zus,
pernahkah
Zus berada dalam titik ingin sekali menghentikan lelaki yang lewat depan rumah
lalu memintanya menikahi denganmu?
Aku
pernah.
Saat
ini.
Aku
ingin sekali menyetop orang lewat lalu menyuruhnya menikahiku untuk membungkam
semua mulut comel yang merasa tahu tentang aku.
Aku
tahu, bahagiaku taruhannya.
Aku
lantas berpikir, apa kebahagiaan masih menjadi sesuatu yang penting?
Mengapa
orang-orang, sering juga dari kaum kita, berpikir bahwa “kalau belum menikah
kita belum bahagia”? Mengapa orang yang belum menikah dianggap orang yang
paling patut dikasihani? Malah ada yang menyebut “belum laku”. Memang apa yang
kaujual, hei?
Apa
orang yang sudah menikah sudah pasti bahagia?
Apa
menikah cepat membuat orang berbahagia?
Sejak
kapan pernikahan menjadi kompetisi yang berhadiah kebahagiaan?
Zus,
barangkali
kebahagiaan (dan kebebasan?) menjadi konsep imajiner yang terus-menerus
dikuliti hingga ditemukan wujud konkretnya oleh banyak manusia. Barangkali salah
satu pelakunya aku.
Entah,
ya, Zus, sejauh ini aku merasa bahagia, tetapi tidak dalam penglihatan
orang-orang di luar diriku. Berkali-kali pertanyaan sekitar pernikahan diajukan
kepadaku (mungkin juga kepadamu?).
Aku
sekarang mungkin dilabeli jomlo
(dalam pengertian yang paling leksikal—dan paling sentimen mungkin).
Orang-orang lantas jatuh iba seakan-akan aku ini entah apa (tidak terbayang
olehku apa yang bisa kujatuhi iba tanpa dia mesti tersinggung).
Kautahu,
Zus,
belum
lama ini ada seorang kawan yang bisa dikatakan baru kenal menanyakan
(lagi-lagi) persoalan pernikahan. Mula-mula ia terkejut mengetahui usiaku
kemudian ia terkejut karena aku belum menikah lantas ia dengan gesit tanpa
diminta mulai memberikan nasihat. Aku lumayan hafal pola ini karena orang-orang
sering melakukan ini kepadaku.
Ia
pula memvonis bahwa aku terlalu sibuk bekerja, bahwa aku tidak memikirkan masa
depan, bahwa bila mencapai kepala tiga perempuan tak bagus untuk hamil, bahwa
nanti anak-anak masih kecil aku sudah tidak bekerja, dan blablabla lainnya.
Kalau dalam keadaan sehat, pikiran tenang, mood
oke, mungkin aku akan menambahkan hal lainnya. Lah, ini?
Aku
sedang pusing memikirkan pekerjaanku hari itu, ditambah vonis, dan
nasihat-nasihat—yang “Hei, itu basi! Aku sudah tahu!”—membuatku mengeluarkan
senyum “sebaiknya kau diam atau kulakban mulutmu!”.
Zus,
pada
masa-masa seperti ini akan ada yang menyodorkan alternatif perjodohan kepadamu.
Terus terang, demi upayaku mendapatkan ketentraman (dan tentu upaya mencapai
kebahagiaan) aku tidak menolak cara ini.
Tidak.
Aku
bukan mau bilang aku sekarang sedang dijodohkan. Aku cuma mau cerita, aku
pernah dijodohkan. Aku tidak tahu efeknya kalau ini dibaca para broer di luar
sana. Toh, kini aku tak begitu ambil peduli.
Waktu
usiaku sekira dua satu, aku pernah ditawarkan konsep ini. Seorang lelaki usia
dua enam menyukaiku tanpa kutahu lalu ia meminta orang tuanya untuk bilang ke
orang tuaku. Aku meradang, aku tidak kenal dia!
Usiaku
dua satu dan aku jatuh cinta dengan seorang lelaki yang tak mau mengakui
perasaannya. Aku mesti bilang apa kepada ibu dan bapakku?
Aku
kesal. Kepada orang tuaku. Kepada si lelaki dua enam. Kepada orang yang
kujatuhi hati.
Ibuku
menikah usia 22 sedangkan bapakku 27. Jadi kau tentu mengerti, usia dua satu
aku sudah bisa menikah.
Lelaki
usia dua enam bukan berasal dari lingkunganku sehari-hari. Aku tidak tahu siapa
dia, bagaimana dia, blablabla. Dalam kacamataku kala itu, bila dia lelaki, dia
mesti mendatangiku sendiri sebagai lelaki, bukan lewat orang tuanya. Tentu aku
akan jauh lebih menghormatinya.
Pria
yang kujatuhi hati. Kala ia tahu aku dijodohkan, ia malah mendorongku. “Aku
nggak bisa ngasih apa-apa buat kamu,” katanya.
Zus,
mendengar
itu ada yang sakit di dada sini. Di rumah aku bertengkar hebat dengan orang
tuaku. Aku akhirnya menyetujui untuk “diperkenalkan”, bukan “dijodohkan”. Ini
semata agar ia yang kujatuhi hati punya kesempatan yang sama. Ah, barangkali
egonya terluka aku melakukan ini: menjadikan ia sebagai bahan pilihan, tetapi aku
ingin ia yang maju. Namun, kautahu jawabannya… . Ia mundur.
Aku
hanya bisa menangis di balik punggungnya.
Zus,
kebahagiaan
itu apa?
Zus,
bisakah
kita merdeka dan menentukan kebahagiaan kita sendiri?
Zus,
apa
pernikahan membuatmu bahagia?
(ini tanggapan dari Zus Aprie: "Surat Terbuka untuk Zus Ika")
Zus, mari ke mari http://aprilecuma.blogspot.com/2013/12/surat-terbuka-untuk-zus-ika.html
BalasHapusmari ke mari hey hey heeey..
BalasHapusbaahhhhh! baru nyadar ini surat untuk (suz) Aprie, ihi, tapi keren sih! curcol yang membuka wawasan dan semoga bisa menampar orang kepo nan sotoy di luar sana.
BalasHapusIni surat untuk seluruh perempuan di muka bumi, Zus. Aku curhat gitu, Zus. Menganggap diri macam Kartini itulah. Zus Aprie menanggapi tulisan di atas di blognya. Kamu mau memberi tanggapan via postingan blog juga? Boleh. :)
HapusSuz, semoga setelah saya berkomentar di sini, Suz Ika bisa menikah dengan lelaki yang bisa memberi kebahagiaan yang diharapkan ya.. :)
BalasHapusahahahaha.. aamiiin.. :)
Hapus