Sabtu, 29 Desember 2012

#PostcardFiction: Satu Selebrasi



          Belum-belum aku sudah seperti nano-nano. Beragam rasa. Seperti banyak bola-bola rasa bertuliskan: senang, sedih, haru, bahagia, dan kawan-kawan yang mengudara di kamarku. Mereka muncul dari benak, dari hati, dari mata, dari kuping, dari segala lubang, dari segala pori di tubuhku.
          Mungkin kamu bertanya-tanya, seberapa istimewanya peristiwa itu sampai-sampai berbagai rasa memenuhi udara. Ya, kan?!
          Mmm… Dia itu disebut: WISUDA (kuberi huruf kapital biar matamu bisa membesar dan berbinar. Hehe…). Menurutku itu satu pencapaian. Bukan cuma pencapaianku, melainkan juga pencapaian keluargaku dan orang-orang di sekitarku.     
          Awalnya kuliahku lancar. Aku bisa mengambil SKS lebih banyak dibanding kebanyakan teman dan bisa semester pendek dengan tujuan percepatan (bukan perbaikan). Tahun 2003 aku masuk kuliah dan tahun 2006 semua mata kuliah selesai. Tiga tahun. Tinggallah skripsi. 
          Namun, Allah berkehendak lain. Rencanaku bubar jalan. Berbagai konflik seperti terasa kelereng setruk dijatuhkan dari langit ke kepalaku. Mulanya masalah ekonomi, berimbas ke masalah keluarga, berimbas ke masalah internal diriku, dst.
          Aku kesulitan konsentrasi. Pikiranku pecah ke mana-mana. Bolehlah kau tahu, aku baru kembali ke kampus tahun 2010 (sejak tahun 2007 awal). Sebelumnya, aku ke kampus hanya untuk bayaran, tanpa kuliah, tanpa konsul, tanpa aktivitas apa pun—temanku selalu bilang: “Ika Fitriana sedang bertapa di gunung”.
          Beruntungnya aku memiliki orang-orang yang peduli padaku. Mana bisa aku melupakan nama-nama seperti: Imas Uliyah, Indah Bakti, Nuniek Nurbayani, Anandia Eka Kencanawati, Wati yunita, Wahyu Nur Indah Kurniasari, Siti Asiyah, dan sederet nama lain yang kalau dituliskan serasa kata pengantar skripsiku pindah ke sini. Mereka memberi dukungan dengan caranya sendiri-sendiri. Kurasa, mereka sempat hampir patah semangat membangun semangat dan percaya diriku yang mati suri.
          Hal lain yang membuatku makin gentar menghadapi skripsi adalah pembimbingku yang idealis. Tapi ya… itu. Waktu beliau terbatas. Harus sering bolak-balik Jakarta-Jember. Pernah konsulku dibatalkan sampai 3 atau 4 kali baru bisa bertemu. Aku bersyukur, paling maksimal cuma disuruh konsul di bandara—ada yang pernah harus ke Jember menyusul beliau. Ya. Aku ke bandara hanya untuk konsul. Jangan kaubayangkan kami akan duduk dan membahas skripsiku di salah satu bangku di sana. Kami membahas skripsi sambil berdesakan antre masuk terminal!
           Kini aku seperti langit.
Merdeka.
Alhamdulillah.
Terima kasih, terima kasih, terima kasih… .
*salim*

 
(bersama orang-orang paling berharga di momen berharga) 

(Catatan ini diikutsertakan dalam #Postcardfiction yang diadakan oleh Kampung Fiksi dan Smartfren).

4 komentar: