Belum-belum
aku sudah seperti nano-nano. Beragam rasa. Seperti banyak bola-bola rasa
bertuliskan: senang, sedih, haru, bahagia, dan kawan-kawan yang mengudara di
kamarku. Mereka muncul dari benak, dari hati, dari mata, dari kuping, dari
segala lubang, dari segala pori di tubuhku.
Mungkin
kamu bertanya-tanya, seberapa istimewanya peristiwa itu sampai-sampai berbagai
rasa memenuhi udara. Ya, kan?!
Mmm…
Dia itu disebut: WISUDA (kuberi huruf kapital biar matamu bisa membesar dan
berbinar. Hehe…). Menurutku itu satu pencapaian. Bukan cuma pencapaianku,
melainkan juga pencapaian keluargaku dan orang-orang di sekitarku.
Awalnya
kuliahku lancar. Aku bisa mengambil SKS lebih banyak dibanding kebanyakan teman
dan bisa semester pendek dengan tujuan percepatan (bukan perbaikan). Tahun 2003
aku masuk kuliah dan tahun 2006 semua mata kuliah selesai. Tiga tahun.
Tinggallah skripsi.
Namun,
Allah berkehendak lain. Rencanaku bubar jalan. Berbagai konflik seperti terasa
kelereng setruk dijatuhkan dari langit ke kepalaku. Mulanya masalah ekonomi,
berimbas ke masalah keluarga, berimbas ke masalah internal diriku, dst.
Aku
kesulitan konsentrasi. Pikiranku pecah ke mana-mana. Bolehlah kau tahu, aku
baru kembali ke kampus tahun 2010 (sejak tahun 2007 awal). Sebelumnya, aku ke
kampus hanya untuk bayaran, tanpa kuliah, tanpa konsul, tanpa aktivitas apa
pun—temanku selalu bilang: “Ika Fitriana sedang bertapa di gunung”.
Beruntungnya
aku memiliki orang-orang yang peduli padaku. Mana bisa aku melupakan nama-nama
seperti: Imas Uliyah, Indah Bakti, Nuniek Nurbayani, Anandia Eka Kencanawati,
Wati yunita, Wahyu Nur Indah Kurniasari, Siti Asiyah, dan sederet nama lain
yang kalau dituliskan serasa kata pengantar skripsiku pindah ke sini. Mereka
memberi dukungan dengan caranya sendiri-sendiri. Kurasa, mereka sempat hampir
patah semangat membangun semangat dan percaya diriku yang mati suri.
Hal
lain yang membuatku makin gentar menghadapi skripsi adalah pembimbingku yang
idealis. Tapi ya… itu. Waktu beliau terbatas. Harus sering bolak-balik
Jakarta-Jember. Pernah konsulku dibatalkan sampai 3 atau 4 kali baru bisa
bertemu. Aku bersyukur, paling maksimal cuma disuruh konsul di bandara—ada yang
pernah harus ke Jember menyusul beliau. Ya. Aku ke bandara hanya untuk konsul.
Jangan kaubayangkan kami akan duduk dan membahas skripsiku di salah satu bangku
di sana. Kami membahas skripsi sambil berdesakan antre masuk terminal!
Kini aku seperti langit.
Merdeka.
Alhamdulillah.
Terima kasih, terima
kasih, terima kasih… .
*salim*
(bersama orang-orang paling berharga di momen berharga)
(Catatan ini diikutsertakan dalam #Postcardfiction yang diadakan oleh Kampung Fiksi dan Smartfren).
(Catatan ini diikutsertakan dalam #Postcardfiction yang diadakan oleh Kampung Fiksi dan Smartfren).
alhamdulillah..
BalasHapusselamat :)
terima kasih.. :))
Hapussaya dulu juga jadi mahasiswa abadi mbak :)
BalasHapushahaha.. *tos*
BalasHapus