Sebuah kartu pos berlatar kota berkincir tergeletak di tepi jendela.
Ia siap dikirim (atau siap diterima?). Tidak ada nama pengirim dan nama penerima
di sana. Kalau kaujenguk lebih lanjut ke atas kartu pos itu, akan tampak deretan
tulisan yang gemuk-gemuk di sana. Mari kita telusuri jejeran kata yang mengisi kartu
pos tersebut.
Leiden
dan kamu.
Dua
hal yang semula tidak mungkin, kini memadu di depanku.Bersama senja yang merah,
kita duduk di kafe tepi kanal itu. Kita menyeruput aroma senja begitu nikmat. Begitu
nikmat hingga kita pikir kitalah senja itu. Kita tersenyum lepas.
Tiba-tiba kaumenoleh padaku.
Dengan
muka itu kaubilang,
“Mau
kaujadi istriku?”
Dan
senyumku yang semula lepas
berubah
terkulum
lalu
tertelan
dan
berganti dengan wajah tak percaya.
Melihat
itu, kamu meyakinkanku dengan senyummu.
Aku
tatap lurus-lurus matamu, menginterogasi hatimu.
Merasakan
waktu itu: suara angin, aroma kopi, mata teduh, semua memadu.
Semua
berkonspirasi. Cuma aku yang baru tahu.
Lalu,
cuma ini yang aku tahu,
“Ya.
Aku mau jadi istrimu.”
Begitulah.Ternyata
kartu pos itu berisi sebuah selebrasi. Yang dirayakan di sana adalah cinta. Ah,
betapa merayakan cinta itu sangat menyenangkan, bukan? Selanjutnya, kubiarkan undangan
merayakan cinta itu tiba di pangkuanmu. Semoga berkenan.
(Tulisan yang dibuat untuk #PostcardFiction yang diadakan oleh Kampung Fiksi dan Smartfren).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar