Selasa, 29 April 2014

Angin Itu

          Angin.
          Belakangan aku suka sekali merasakan angin. Kami bicara banyak hal.
          Pun malam ini.
          Angkot penuh. Aku memilih memejamkan mata saja sebab bingung: mata mesti memandang apa?
          Aku merasakan angin. Tiap kali kepalaku merunduk, ia mengangkat daguku. Kepalaku turun lagi, ia buat mendongak lagi. Tak dibiarkan aku takluk dengan pikiran sendiri.
          Melaluinya aku mendengar suara dering bel sepeda di angkot ini. Aneh memang, ada suara bel sepeda. Yah, barangkali  itu suara mesin angkot entah bagian apa. Yang kutahu, ada suara dering bel sepeda—kadang-kadang menjelma suara bel pulang. Entahlah. Ini menyenangkan.
          Suara dering bel sepeda bikin aku ingat sepeda sundung Bapak. Pernah aku coba kendarai lalu menabrak rumah tetangga. Sepeda Bapak itu dimaling orang. Dia masih ada nggak ya? Semoga malingnya merawat sepeda Bapak dengan baik.
          Suara dering bel sepeda mengingatkan aku juga dengan suara notifikasi whatsapp-ku. Irama post man. Barangkali aku sedang berharap suara misteri mesin angkot itu suara ponselku.
          Suara bel pulang sesekali terdengar. Tentang bel pulang memang aku suka bertanya-tanya: mengapa suara bel pulang itu begitu menyenangkan? Apa belajar itu menjadi hal yang membosankan, sehingga bel pulang bisa bikin riang?
          Sedang aku mengira-ngira sebab aku dengar suara bel sepeda (atau bel pulang), angin melempar sehelai rambut ke mataku yang masih memejam. Ia menggunakan rambut mbak-mbak yang duduk di sebelah kiriku. Kita sebut saja Mbak Sebelah.
          Aku terkejut dilempar sehelai rambut. Kagetku belum selesai, angin melempar sehelai lainnya. Kali ini mendarat di keningku: meluruskan kernyitan yang terpeta di sana. Aku baru menyadari keningku mengerut.
          Kini ia mulai iseng. Ia menggelitikiku dengan melempar beberapa helai rambut Mbak Sebelah ke hidung. Aku kegelian. Aku menggerak-gerakkan hidungku mengusir rambu-rambut itu. Angin makin meledek. Ia mengirim rambut yang lainnya untuk dihempas ke kening, ke mata, ke hidung. Aku senyum-senyum sendiri.
          Sedetik kubuka mataku. Mbak yang duduk di depanku sedang memandang ke arahku. Kita sebut saja Mbak Depan. Ia tak sempat melarikan matanya. Aku memejam lagi. Kubiarkan Mbak Depan dengan pikirannya. Mungkin ia bertanya-tanya perihal aku yang tersenyum-senyum sendiri. Kasihan sekali Mbak Depan, tak bisa ia kubagi cerita bahwa aku sedang bercanda dengan angin.
          Angin lalu bercerita tentang kaca-kaca angkot yang gemetar. Mereka kusam; jejak zaman. Sekonyong-konyong kudengar, “Sudah biasa begini.”
          Hidup kaca-kaca angkot itu tentu membosankan. Mereka tidak tampak ceria. Kupikir mereka dimandikan asal saja. Bisa jadi malah mandi dengan lap kotor. Aku komat-kamit saja, “Semoga kamu bahagia, Kaca-kaca Angkot.” Aku yakin angin akan melakukan tugasnya: menyampaikan pesan kepada kaca-kaca angkot yang gemetar.
          Begitulah. Aku sedang suka merasakan angin. Ia bisa menemani matahari, ia bisa menyertai hujan. Kemarin ia membawakanku bau durian dan bau martabak. Pernah ia jejalkan bau tinta spidol dari tempat pensil pertanda ada tutup spidol yang terlepas.
          Ya, aku sedang suka merasakanmu. Nyanyikan irama napasmu, Angin.

(28 April 2014)


4 komentar:

  1. angin yang membawa asap knalpot itu, aku tidak suka.
    angin yang mengingatan bau parfum kesukaannya, aku tidak suka
    mana angin yang kusuka? satu-satunya, angin yang membawa harum tanah basah sesudah hujan

    BalasHapus
  2. Ahahaha.. Iseng aja angin itu. Aku juga nggak suka asap knalpot, kecuali dia beraroma duren atau bau lain yang cocok di hidungku. :b

    BalasHapus
  3. wah! setuju sama ka Aprie. Angin yang membawa bau gas dari dalam perutku yang keluar melalui celah itu tuh~ sedap dinikmati. Huwoo~

    Btw, tulisanmu seperti biasa, segaaar~ *buka kulkas* :)))))

    BalasHapus