Angin.
Belakangan
aku suka sekali merasakan angin. Kami bicara banyak hal.
Pun
malam ini.
Angkot
penuh. Aku memilih memejamkan mata saja sebab bingung: mata mesti memandang
apa?
Aku
merasakan angin. Tiap kali kepalaku merunduk, ia mengangkat daguku. Kepalaku turun
lagi, ia buat mendongak lagi. Tak dibiarkan aku takluk dengan pikiran sendiri.
Melaluinya
aku mendengar suara dering bel sepeda di angkot ini. Aneh memang, ada suara bel
sepeda. Yah, barangkali itu suara mesin angkot
entah bagian apa. Yang kutahu, ada suara dering bel sepeda—kadang-kadang
menjelma suara bel pulang. Entahlah. Ini menyenangkan.
Suara
dering bel sepeda bikin aku ingat sepeda sundung
Bapak. Pernah aku coba kendarai lalu menabrak rumah tetangga. Sepeda Bapak
itu dimaling orang. Dia masih ada nggak
ya? Semoga malingnya merawat sepeda Bapak dengan baik.
Suara
dering bel sepeda mengingatkan aku juga dengan suara notifikasi whatsapp-ku. Irama post man. Barangkali aku sedang berharap suara misteri mesin angkot
itu suara ponselku.
Suara
bel pulang sesekali terdengar. Tentang bel pulang memang aku suka
bertanya-tanya: mengapa suara bel pulang itu begitu menyenangkan? Apa belajar
itu menjadi hal yang membosankan, sehingga bel pulang bisa bikin riang?
Sedang
aku mengira-ngira sebab aku dengar suara bel sepeda (atau bel pulang), angin
melempar sehelai rambut ke mataku yang masih memejam. Ia menggunakan rambut
mbak-mbak yang duduk di sebelah kiriku. Kita sebut saja Mbak Sebelah.
Aku
terkejut dilempar sehelai rambut. Kagetku belum selesai, angin melempar sehelai
lainnya. Kali ini mendarat di keningku: meluruskan kernyitan yang terpeta di
sana. Aku baru menyadari keningku mengerut.
Kini
ia mulai iseng. Ia menggelitikiku dengan melempar beberapa helai rambut Mbak
Sebelah ke hidung. Aku kegelian. Aku menggerak-gerakkan hidungku mengusir
rambu-rambut itu. Angin makin meledek. Ia mengirim rambut yang lainnya untuk
dihempas ke kening, ke mata, ke hidung. Aku senyum-senyum sendiri.
Sedetik
kubuka mataku. Mbak yang duduk di depanku sedang memandang ke arahku. Kita sebut
saja Mbak Depan. Ia tak sempat melarikan matanya. Aku memejam lagi. Kubiarkan Mbak
Depan dengan pikirannya. Mungkin ia bertanya-tanya perihal aku yang
tersenyum-senyum sendiri. Kasihan sekali Mbak Depan, tak bisa ia kubagi cerita
bahwa aku sedang bercanda dengan angin.
Angin
lalu bercerita tentang kaca-kaca angkot yang gemetar. Mereka kusam; jejak
zaman. Sekonyong-konyong kudengar, “Sudah biasa begini.”
Hidup
kaca-kaca angkot itu tentu membosankan. Mereka tidak tampak ceria. Kupikir mereka
dimandikan asal saja. Bisa jadi malah mandi dengan lap kotor. Aku komat-kamit
saja, “Semoga kamu bahagia, Kaca-kaca Angkot.” Aku yakin angin akan melakukan
tugasnya: menyampaikan pesan kepada kaca-kaca angkot yang gemetar.
Begitulah.
Aku sedang suka merasakan angin. Ia bisa menemani matahari, ia bisa menyertai
hujan. Kemarin ia membawakanku bau durian dan bau martabak. Pernah ia jejalkan
bau tinta spidol dari tempat pensil pertanda ada tutup spidol yang terlepas.
Ya,
aku sedang suka merasakanmu. Nyanyikan irama napasmu, Angin.
(28 April 2014)
angin yang membawa asap knalpot itu, aku tidak suka.
BalasHapusangin yang mengingatan bau parfum kesukaannya, aku tidak suka
mana angin yang kusuka? satu-satunya, angin yang membawa harum tanah basah sesudah hujan
Ahahaha.. Iseng aja angin itu. Aku juga nggak suka asap knalpot, kecuali dia beraroma duren atau bau lain yang cocok di hidungku. :b
BalasHapuswah! setuju sama ka Aprie. Angin yang membawa bau gas dari dalam perutku yang keluar melalui celah itu tuh~ sedap dinikmati. Huwoo~
BalasHapusBtw, tulisanmu seperti biasa, segaaar~ *buka kulkas* :)))))
Ihiw. Makasih, Nak Mantuuu.. :)))
Hapus