“Pernah
ke Kawah Putih, Kaf?” tanya Barika kemarin lusa.
“Iya,
pernah.”
“Bagus
banget, ya! Sulit untuk berpikir Tuhan itu tidak ada ketika kau dihadapkan pada
keindahan semacam Kawah Putih.”
“Emmm,
ya.”
“Menurutmu
Kawah Putih itu gimana?”
“Bau.”
“Hah?”
“Iya,
ada bau belerang. Daripada di Kawah Putihnya, aku lebih suka pas naik mobilnya,
dari bawah (tempat parkir) ke atas (Kawah Putih). Itu lebih seru.”
***
Itu
bukan yang pertama kali aku dan Barika berbeda fokus. Percakapan di atas bikin
kami ingat obrolan setelah menonton pementasan Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya yang dilakoni Niniek L
Karim dan kawan-kawan dalam rangka ulang tahun Putu Wijaya ke-70 tanggal 11
April 2014 lalu. Menurut Barika, alurnya dahsyat, akting Niniek L Karim juga
luar biasa. Selain itu, ia pun membahas unsur intrinsik lain yang membuatnya
terpukau (dan hingga saat ini ia masih senang sekali mengingat itu).
“Menurutmu
apa yang menarik?” tanyanya ketika itu.
“Lampu.”
“Lampu?”
“Ya.
Lampu.”
Ia
tidak habis pikir: mengapa Ikaf menjawab lampu? Sama. Aku juga tidak tahu.
Hahaha… .
Nah,
karena tidak tahu itu, aku menganalisis diri sendiri (yang bisa digoyahkan oleh
orang yang lebih mengenal aku selain aku). Ini dia:
1.
Aku bertanya-tanya tentang waktu, waktu
yang melatari peristiwa-peristiwa di panggung, berdasarkan lampu-lampu. Bisa?
Tidak. Karena aku buta terhadap hal ini. Aku cuma menebak-nebak saja. Mungkin
ini malam karena lampu redup. Oh mungkin ketika adegan itu waktunya pagi karena
lampu oranye puas sekali, dan seterusnya.
2.
Ada adegan Nyoman bermonolog di salah
satu sisi depan panggung (jangan tanya kanan-kiri!), tetapi lampu tersorot ke
Gusti Biang. Aku lalu mencari-cari lampu untuk Nyoman. Apa memang tidak ada
atau tidak menyala? Padahal dalam adegan itu Nyoman emosional sekali sampai
berlelehan air mata. Di mana lampu? Mengapa kami tak diizinkan fokus melihat
itu?
3.
Adegan lain adalah dialog Nyoman dengan
Ngurah. Itu dialog lumayan panjang. Lagi-lagi tidak ada lampu untuk mereka. Aku
bertanya-tanya sendiri. Apa yang penting hanya Gusti Biang? Ini sebab lampu
untuk Gusti Biang kupikir tidak berkurang. Ini menarik.
4.
Puncak ketertarikanku terletak di ending. Semua lampu mati, kecuali sebuah
lampu teplok (yang mulanya kupikir properti mati). Ia menjadi satu-satunya
cahaya—yang tak lama kemudian ikut mati. Kegelapan sempurna. Total. Ketika itu
melintas fragmen “Doa”-nya Chairil Anwar di benakku: “tinggal kerdip lilin
ditelan sunyi”.
Beberapa detik setelah semua cahaya
padam, lampu kembali menyala sebagai tanda pertunjukan usai dan penonton dapat
leluasa memberi apresiasi dengan tepuk tangan. Di sana aku membuat keputusan:
kegelapan sempurna itu ada, tetapi tidak selamanya.
(4 Mei 2014)
Bisa jadi setting lampu di gedung itu permanen, alias ngga bisa diobrak-abrik sama sutradara jadi bukan lampu yang ngikutin pemain (kecuali lampu hollow) tetapi pemain yang ngikutin di mana lampu berada (di kampusku sih gitu tiap kali mentas). Atau bisa jadi memang dalam naskahnya begitu. Lagipula apalah fungsi sebuah lampu jika tidak ada kegelapan. :D
BalasHapusWoh, gitu ya, Va. Seingatku di kisaran panggung itu lampu yang dipakai lampu pasangan semua. Aku nggak gitu yakin dengan lampu permanen. Aku lebih mencurigai naskahnya sebetulnya. Entahlah.
Hapus