Teruntuk Manusia
Gini,
lho, Man, saya ini memang pohon di pinggir jalan, tetapi bukan cuma. Saya
makhluk hidup juga. Bahasa saya memang tak sama dengan bahasamu, sehingga
barangkali ini menjadi penyebab ketidakmengertian di antara kita.
Aku
mau komplain, Man. Mengapa kami, pohon-pohon di pinggir jalan, sering sekali
kautempeli iklan-iklan? Kautancapi tubuh kami dengan paku. Belum lagi ada anak
muda yang jatuh cinta. Mereka goreskan nama mereka pada tubuh kami.
Sekarang
gini, Man, kalau aku yang melakukan itu kepadamu bagaimana? Mau kau ditancapi
paku? Mau kau punya goresan nama di tubuhmu—apalagi bukan namamu?
Man,
apa kau pernah tanya pendapatku tentang iklan-iklan yang kautancap di tubuhku?
Pernah minta izinku?
Kalau
boleh memilih, Man, barangkali aku lebih senang tinggal di kebun raya (yang
harga tiketnya sudah naik itu) atau taman saja. Badanku nggak belepotan polusi
dari kendaraanmu, Man.
Ah,
iya, tambahan, Man. Manusia yang berjenis laki-laki. Mereka—kadang juga kucing
atau anjing—suka mengencingi tubuhku. Mereka mau menandai wilayah kekuasaan
juga atau bagaimana, Man?
Itu
saja dulu, Man. Terima kasih sudah membaca suratku. Semoga terjalin pengertian
di antara kita.
Salam,
Pohon di pinggir jalan dekat pengkolan
Iya. Terima kasih ya, Andri. :)
BalasHapus