Selasa, 15 April 2014

Man

Teruntuk Manusia

          Gini, lho, Man, saya ini memang pohon di pinggir jalan, tetapi bukan cuma. Saya makhluk hidup juga. Bahasa saya memang tak sama dengan bahasamu, sehingga barangkali ini menjadi penyebab ketidakmengertian di antara kita.
          Aku mau komplain, Man. Mengapa kami, pohon-pohon di pinggir jalan, sering sekali kautempeli iklan-iklan? Kautancapi tubuh kami dengan paku. Belum lagi ada anak muda yang jatuh cinta. Mereka goreskan nama mereka pada tubuh kami.
          Sekarang gini, Man, kalau aku yang melakukan itu kepadamu bagaimana? Mau kau ditancapi paku? Mau kau punya goresan nama di tubuhmu—apalagi bukan namamu?
          Man, apa kau pernah tanya pendapatku tentang iklan-iklan yang kautancap di tubuhku? Pernah minta izinku?
          Kalau boleh memilih, Man, barangkali aku lebih senang tinggal di kebun raya (yang harga tiketnya sudah naik itu) atau taman saja. Badanku nggak belepotan polusi dari kendaraanmu, Man.
          Ah, iya, tambahan, Man. Manusia yang berjenis laki-laki. Mereka—kadang juga kucing atau anjing—suka mengencingi tubuhku. Mereka mau menandai wilayah kekuasaan juga atau bagaimana, Man?
          Itu saja dulu, Man. Terima kasih sudah membaca suratku. Semoga terjalin pengertian di antara kita.


Salam,


Pohon di pinggir jalan dekat pengkolan

1 komentar: