Selasa, 12 November 2013

#5BukuDalamHidupku Skripsi: Si Anak Pertama

SKRIPSI!!!
          Iya, saya tahu tanda seru satu saja sudah cukup secara bahasa, tetapi saya sedang ingin berteriak sekencang-kencangnya menyebut buku itu. Ini bukan sekadar tentang skripsi sebagai syarat lulus dan bergelar sarjana, melainkan lebih mengenai skripsi sebagai anak pertama saya. Ya, saya mencintainya!
          Barangkali pembaca setia blog ini akan bosan membaca: ah, skripsi lagi, skripsi lagi. Hahaha…, berapa kali pun saya bercerita tentangnya, saya tak jemu. Kalau kamu bertemu saya dan meminta saya menceritakan tentang skripsi saya, barangkali saya akan berkisah dengan sukacita (ya tapi jangan beneran ditanya juga, ini kan cuma basa-basi..).
          Ah, ya, sabar sebentar, duhai pembaca yang budiman (dan pakdiman). Tahanlah keinginanmu untuk menekan tombol silang di pojok kanan atas monitormu itu. Em, tapi, saya tidak mau memaksa juga, sih. Tekan saja jika kaumau dan jangan lanjut membaca (meski saya akan lanjut menulis).
          Skripsi barangkali bagi sebagian orang berarti “cuma”, “sekadar”, “huft”, atau apa. Namun, bagi saya, sekali lagi, skripsi itu anak saya yang saya lahirkan dengan penuh… hahaha, lebay, sih, … penuh rasa.
          Oh, ya, kalau kamu belum tahu judul skripsi saya, ini saya beri tahu. Judulnya: “Representasi Kiai dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi Karangan A Mustofa Bisri: Suatu Tinjauan Semiotika” (2011). Mulanya saya ingin menggunakan pisau dekonstruksi, tapi nggak jadi. Waktunya nggak cukup!

Begini ini penampakan depan skripsiku

          Iya, waktu.
          Saya mengandung skripsi dalam tubuh saya dari akhir tahun 2006 – akhir tahun 2011. Dia tua dalam kandungan! Mengapa demikian?
          Klasik.
          Barangkali kamu juga merasakannya. Barangkali juga pengalaman saya nggak lebih dari seujung kuku pengalamanmu. Saya kerja.
          “Keasyikan kerja” atau “sudah kenal duit jadi malas selesaikan skripsi” bukan komentar yang tepat untuk saya. Saya lumayan perencana dalam hal semacam ini. Saya menargetkan diri lulus empat tahun sejak saya masuk, tahun 2003. Setelah itu saya baru berencana kerja karena saya perempuan dengan satu fokus—nggak pandai membagi fokus sebagaimana kebanyakan perempuan lain.
          Saya lakukan berbagai cara untuk mewujudkan niat lulus kuliah empat tahun. Ambil SKS lebih banyak, ambil semester pendek dengan tujuan kuliah percepatan (bukan perbaikan), dan seterusnya hingga semua mata kuliah saya tuntaskan. Tinggal skripsi.
          Aha. “Tinggal”.
          Kerja sebetulnya bukan keinginan saya. Saya ingin menyelesaikan kuliah dulu. Namun, saya mesti bekerja. Biasa, masalah keluarga. Saya, si anak manja yang nggak biasa kerja, mendadak menjadi tulang punggung keluarga. Pernah kamu bayangkan gaji pertama sebesar Rp125.000,00 untuk menghidupi empat orang selama sebulan?
          Mahakuasa Allah.
          Ketika itu saya membuat opsi untuk diri saya:
1. Cuti kuliah
2. Melanjutkan kuliah dengan entah biaya dari mana (karena honor sebagai pengajar bimbel jelas tak cukup)
3. Berhenti kuliah
          Opsi ketiga itu paling pahit. Jika opsi itu saya ambil, saya mematahkan banyak hati: keluarga saya, teman-teman saya, terlebih diri saya sendiri. Saya tidak mau.
          Ya, sekarang saya bisa keras sekali bilang “Saya tidak mau”, tapi dulu itu pilihan yang berpeluang paling besar dipilih. Namun, akhirnya saya memilih cuti untuk mengumpulkan biaya kuliah. Pilihan ini diambil atas dukungan orang-orang terdekat saya. Mereka berhasil membuat saya percaya bahwa rezeki saya belum selesai.
          Kamu tahu, kamu akan gila menjadi teman-teman saya. Mereka berusaha memberi dukungan dengan caranya sendiri-sendiri. Saya pernah meyakini mereka hampir putus asa memegangi tubuh saya agar tetap berdiri karena saya sendiri ketika itu bahkan tidak mau tegak di atas kaki saya.
          Mereka hebat.
          Dari mulai masuk skripsi saya tidak konsul. Kalau ada orang bertanya “Ika Fitriana ke mana?”, teman-teman saya dengan fasih menjawab “Bertapa”. Saya baru bisa turun gunung alias ke kampus lagi—untuk mengurusi skripsi—awal tahun 2010. Ketika itu hanya tinggal beberapa yang masih di kampus. Sisanya sudah menjadi sarjana pendidikan atau sarjana sastra.

          Setelah semua itu, tentu kini kamu tahu, alasan skripsi menjadi buku paling berpengaruh nomor satu. Ada doa, keringat, dan suara banyak orang di sana. Kamu barangkali bisa membayangkan menjadi saya, orang yang akhirnya berhasil melahirkan dengan selamat padahal berulangkali berniat aborsi. Kamu barangkali bisa membayangkan menjadi saya, orang yang akhirnya menyadari ada banyak tangan terulur, ada banyak telinga terjulur, cuma untukmu!
          Melalui ini, saya mengingatkan diri saya bahwa saya mesti ingat mereka, mengingatkan diri saya untuk selalu kirim doa, mengingatkan saya bahwa saya menjadi karena mereka memberi. Saya tahu, terima kasih tidaklah cukup, tapi ya… terima kasih.

(10 November 2013)


6 komentar: