Untuk Sindy Shaen
Sudah
pernah menemukan penelik (aku lebih memilih kata “penelik” daripada stalker) yang mengakui bahwa ia sering
mengikuti akun twitter kita?
Aku
pernah.
Hari
ini. Dini hari tadi, tepatnya.
Hahahaha…
.
Ini
menakjubkan!
Kami
berbicara dengan dua kode bahasa. Dia menggunakan bahasa Inggris, aku memilih
bahasa Indonesia. Jika dia memakai bahasa Manado, aku mempersiapkan diri dengan
bahasa Jawa (untungnya opsi kedua ini nggak dipake; aku nggak ngerti SAMA
SEKALI bahasa Manado!). Ia membuka pembicaraan dengan:
“I wonder why
you’re always in my TL. You’re immortal twitter user, aren’t you? :))”
Dia
nggak tahu, kali, admin akun @ikafff ada 24 orang. Hahaha.. Em, tapi, sih, aku
nggak mau sombong, aku bilang aja:
“Ahahaha..
karena kamu follower-ku.”
Iya,
dong?
Dengan
menjadi follower-ku, berarti aku
otomatis ada di linikalanya. Terus, tentang
“immortal twitter user”, dia barangkali berpikir aku ada hubungan dengan
Edward Cullen. Entahlah. Kami cuma seangkatan—Bung Karno juga kelahiran 1901.
Nggak ada yang spesial. Cuma berteman, tapi bukan #Prenjon, lho, ya! Bener,
deh! Suwer tekewer-kewer! (halah!)
Dia
membalas twitku:
“I mean your
tweets appear in my TL almost every hour. Don’t you ever sleep? *wondering*
._.”
Yah,
kan, akun @ikafff punya 24 admin yang bergantian tiap jam… . Eh, tapi, aku
nggak mau sombong, ah. Aku bilang aja:
“Hahahaha..
aku kalo tidur nggak ngasih tau, sih.. Em, salah satu faktor jelas waktu muncul
kita sama. Haha”
Iya,
dong?
Kamu
nggak akan tahu aku ada di linikala kalau kamu tidak muncul juga di sana—entah
apa yang kaulakukan itu, Nyisanak! Aku memilih berkicau saat ada di twitterland.
Dia
sahuti:
“Hmm, it’s
not surely like that but nowadays I become silent reader for some twitter
users. Somehow. If you know what I mean. ^^”
Hah?
“If you know what I mean”? Dari awal
aja aku harus mengira-ngira maksudnya. Bahasa Inggris, bo! Bukan alergi atau
apa, tapi kalau pakai kode bahasa yang berbeda berarti aku melakukan dua hal:
mengartikan lalu menafsirkan. Ya, kan?
Nah,
pada twit di atas aku cuma ngerti artinya, tapi nggak ngerti konteksnya. Aku
lantas meminta penjelasan:
“Hahahaha..
aku nggak paham konteksmu.”
“’silent
reader’ means ‘stalker’ (oke,
sampai sini aku ngerti—Ikaf). I simply
wanted to tell that I’m your stalker. You’re one of twitter users whom I used
to stalk to.”
Ha!
Aku
tergelak di sini.
Memang,
kalau yang paham denganku atau sering berinteraksi denganku, pasti sudah tahu
kebiasaanku yang memberitahukan kepada orang yang bersangkutan jika aku no mention, tapiiii… aku tidak pernah
menganjurkan untuk mengakui diri sendiri sebagai penelik. Menurutku, ini keren!
Aku
lantas bertanya-tanya—yang akhirnya kugunakan untuk menanggapinya:
“Ahahaha..
kenapa? Apa yang menarik dari akunku?”
Iya,
dong?
Apa
menariknya akunku sehingga ia bersedia meluangkan waktunya untuk kicauanku yang
random itu?
Ia
menjawab:
“Lucu aja sih
buat hiburan, and sometimes enrich my knowledge about language (especially
Indonesian). Don’t you realize that? :3”
Aku
mikirnya apa? Apa aku cocok jadi wanita
penghibur? Hahahaha… Ow, beda konteks, ya? Habis, dia bilang “buat
hiburan”… . Oke, fokus.
Aku
berkicau memang untuk menyenangkan diriku sendiri. Menyenangkan orang lain itu
efek samping positif menurutku. Itu bagus. Sementara untuk pengetahuan
kebahasaan (Indonesia), em, itu otomatis aja, kali, ya, mengingat latar
belakang pendidikan dan pekerjaannku yang merupakan pengajar bahasa Indonesia.
Tentang
ini, aku selalu mengingat docendo disco,
scribendo cogito (aku belajar dengan mengajar, aku berpikir dengan
menulis). Ya, aku lebih merasa aku belajar saat mengajar. Itu mungkin kebawa
sampai ke twitterland. Hahahaha… .
Awalnya
malah aku menjadi grammar nazi (um,
sebetulnya aku nggak suka dengan istilah ini). Aku gatal jika ada akun yang
pilihan katanya nggak tepat (kalau salah ketik aku nggak terlalu masalah,
kecuali ngaruh ke makna). Apabila akun itu sengaja menggunakan bahasa lisan
saat menulis—seperti yang kulakukan sekarang ini—ya nggak apa-apa. Aku biarkan.
Namun, yang tidak bisa kuabaikan adalah mereka yang salah diksi jadi maknanya
kacau, apalagi akun besar. Menurutku kasihan jika mereka dibiarkan. Aku suka
bawel. Contoh kata yang penggunaannya sering salah: “acuh” disamakan dengan
“abai”, “tak bergeming”, “carut-marut”, dst. Salah diksi, salah makna. Oke, aku
bukan mau bahas bahasa di sini. Lanjut.
Aku
menjawab:
“Hahaha...
syukurlah kalo bermanfaat. Aku jadi tersanjung tersayang terpesona… .”
Iyalah.
Betapa menyenangkan mengetahui kata-kata kita bermanfaat bagi orang lain (ya
nggak ngerti, sih, dimanfaatkan untuk apa..)! Sebenarnya masih ada kelanjutan
percakapannya, tapi demi terjaganya fokus tulisan, kusudahi sampai di situ. Begitu.
Akhirnya,
melalui tulisan ini, kusampaikan terima kasih untuk orang-orang yang peduli
dengan kicauanku. Kalian keren!
p.s.:
“Tiap
orang punya pengagumnya sendiri-sendiri” (lupa kata siapa, tapi kurasa, ya,
tiap orang memiliki pengagumnya sendiri)—dan aku selalu kagum dengan orang yang
bisa-bisanya mengagumiku. Huibat! Prok-prok-prok (tepuk pramuka). Haha… .
(14 Agustus 2013)
Kamu enggak sadar, ya? Aku yang mengagumi kamu lebih dahulu
BalasHapus*ceritanya posesip*
*banting vas bunga*
tapi, Prie, dengerin aku dulu. aku bisa jelasin semuanyah.. (/ ',')/
Hapus