Rabu, 14 Agustus 2013

Hai, Penelik (Dear Stalker)!


          Sudah pernah menemukan penelik (aku lebih memilih kata “penelik” daripada stalker) yang mengakui bahwa ia sering mengikuti akun twitter kita?
          Aku pernah.
          Hari ini. Dini hari tadi, tepatnya.
          Hahahaha… .
          Ini menakjubkan!
          Kami berbicara dengan dua kode bahasa. Dia menggunakan bahasa Inggris, aku memilih bahasa Indonesia. Jika dia memakai bahasa Manado, aku mempersiapkan diri dengan bahasa Jawa (untungnya opsi kedua ini nggak dipake; aku nggak ngerti SAMA SEKALI bahasa Manado!). Ia membuka pembicaraan dengan:

          “I wonder why you’re always in my TL. You’re immortal twitter user, aren’t you? :))”

          Dia nggak tahu, kali, admin akun @ikafff ada 24 orang. Hahaha.. Em, tapi, sih, aku nggak mau sombong, aku bilang aja:

          “Ahahaha.. karena kamu follower-ku.”

          Iya, dong?
          Dengan menjadi follower-ku, berarti aku otomatis ada di linikalanya. Terus, tentang “immortal twitter user”, dia barangkali berpikir aku ada hubungan dengan Edward Cullen. Entahlah. Kami cuma seangkatan—Bung Karno juga kelahiran 1901. Nggak ada yang spesial. Cuma berteman, tapi bukan #Prenjon, lho, ya! Bener, deh! Suwer tekewer-kewer! (halah!)
          Dia membalas twitku:

          “I mean your tweets appear in my TL almost every hour. Don’t you ever sleep? *wondering* ._.”
         
          Yah, kan, akun @ikafff punya 24 admin yang bergantian tiap jam… . Eh, tapi, aku nggak mau sombong, ah. Aku bilang aja:

          “Hahahaha.. aku kalo tidur nggak ngasih tau, sih.. Em, salah satu faktor jelas waktu muncul kita sama. Haha”
         
          Iya, dong?
          Kamu nggak akan tahu aku ada di linikala kalau kamu tidak muncul juga di sana—entah apa yang kaulakukan itu, Nyisanak! Aku memilih berkicau saat ada di twitterland.
          Dia sahuti:

          “Hmm, it’s not surely like that but nowadays I become silent reader for some twitter users. Somehow. If you know what I mean. ^^”
         
          Hah? “If you know what I mean”? Dari awal aja aku harus mengira-ngira maksudnya. Bahasa Inggris, bo! Bukan alergi atau apa, tapi kalau pakai kode bahasa yang berbeda berarti aku melakukan dua hal: mengartikan lalu menafsirkan. Ya, kan?
          Nah, pada twit di atas aku cuma ngerti artinya, tapi nggak ngerti konteksnya. Aku lantas meminta penjelasan:

          “Hahahaha.. aku nggak paham konteksmu.”

          “’silent reader’ means ‘stalker’ (oke, sampai sini aku ngerti—Ikaf). I simply wanted to tell that I’m your stalker. You’re one of twitter users whom I used to stalk to.”
         
          Ha!
          Aku tergelak di sini.
          Memang, kalau yang paham denganku atau sering berinteraksi denganku, pasti sudah tahu kebiasaanku yang memberitahukan kepada orang yang bersangkutan jika aku no mention, tapiiii… aku tidak pernah menganjurkan untuk mengakui diri sendiri sebagai penelik. Menurutku, ini keren!
          Aku lantas bertanya-tanya—yang akhirnya kugunakan untuk menanggapinya:

          “Ahahaha.. kenapa? Apa yang menarik dari akunku?”
         
          Iya, dong?
          Apa menariknya akunku sehingga ia bersedia meluangkan waktunya untuk kicauanku yang random itu?
          Ia menjawab:

          “Lucu aja sih buat hiburan, and sometimes enrich my knowledge about language (especially Indonesian). Don’t you realize that? :3”
         
          Aku mikirnya apa? Apa aku cocok jadi wanita penghibur? Hahahaha… Ow, beda konteks, ya? Habis, dia bilang “buat hiburan”… . Oke, fokus.
          Aku berkicau memang untuk menyenangkan diriku sendiri. Menyenangkan orang lain itu efek samping positif menurutku. Itu bagus. Sementara untuk pengetahuan kebahasaan (Indonesia), em, itu otomatis aja, kali, ya, mengingat latar belakang pendidikan dan pekerjaannku yang merupakan pengajar bahasa Indonesia.
          Tentang ini, aku selalu mengingat docendo disco, scribendo cogito (aku belajar dengan mengajar, aku berpikir dengan menulis). Ya, aku lebih merasa aku belajar saat mengajar. Itu mungkin kebawa sampai ke twitterland. Hahahaha… .
          Awalnya malah aku menjadi grammar nazi (um, sebetulnya aku nggak suka dengan istilah ini). Aku gatal jika ada akun yang pilihan katanya nggak tepat (kalau salah ketik aku nggak terlalu masalah, kecuali ngaruh ke makna). Apabila akun itu sengaja menggunakan bahasa lisan saat menulis—seperti yang kulakukan sekarang ini—ya nggak apa-apa. Aku biarkan. Namun, yang tidak bisa kuabaikan adalah mereka yang salah diksi jadi maknanya kacau, apalagi akun besar. Menurutku kasihan jika mereka dibiarkan. Aku suka bawel. Contoh kata yang penggunaannya sering salah: “acuh” disamakan dengan “abai”, “tak bergeming”, “carut-marut”, dst. Salah diksi, salah makna. Oke, aku bukan mau bahas bahasa di sini. Lanjut.
          Aku menjawab:

          “Hahaha... syukurlah kalo bermanfaat. Aku jadi tersanjung tersayang terpesona… .”
         
          Iyalah. Betapa menyenangkan mengetahui kata-kata kita bermanfaat bagi orang lain (ya nggak ngerti, sih, dimanfaatkan untuk apa..)! Sebenarnya masih ada kelanjutan percakapannya, tapi demi terjaganya fokus tulisan, kusudahi sampai di situ. Begitu.
          Akhirnya, melalui tulisan ini, kusampaikan terima kasih untuk orang-orang yang peduli dengan kicauanku. Kalian keren!

p.s.:
“Tiap orang punya pengagumnya sendiri-sendiri” (lupa kata siapa, tapi kurasa, ya, tiap orang memiliki pengagumnya sendiri)—dan aku selalu kagum dengan orang yang bisa-bisanya mengagumiku. Huibat! Prok-prok-prok (tepuk pramuka). Haha… .

(14 Agustus 2013)


2 komentar:

  1. Kamu enggak sadar, ya? Aku yang mengagumi kamu lebih dahulu
    *ceritanya posesip*
    *banting vas bunga*

    BalasHapus
    Balasan
    1. tapi, Prie, dengerin aku dulu. aku bisa jelasin semuanyah.. (/ ',')/

      Hapus