Minggu, 21 Desember 2014

IGEND!

Bekasi, 17 Desember 2014

(balasan untuk surat ini)

HEH, IGEND!
          BONGKAR-BONGKAR AIB DIH! HAHAHA.
***
         
          Namanya Dwi Ratna Fitriani. Fitriani, bukan Fitriana. Biasa dipanggil Dwi, Wiwi, Uwi, Uwil, Kriwil, Adek, Igend, Lebar, atau Peski. Tergantung keperluan. Dia akan menjelma menjadi “adekku yang cantik” atau “adikku yang baik” ketika kakaknya minta dianterin atau minta dibeliin pulsa. Kakak minta pulsa. Mamanya nggak.
          Dia anak yang anteng dan nggak pernah cari masalah. Taaapiiii… jangan salah! Kalau dia merasa terusik atau salah satu dari orang yang dikasihinya terlukai, dia akan meradang paling duluan. Dia ikut aku masuk karate biar bisa balas orang-orang yang memukulku sampai berdarah di pertandingan. Hahaha. Aku ingat sekali tatapan marahnya waktu aku menangis karena bibirku pecah kena pukul (dan heiiii… di surat dia bilang aku—AKU—galaak? Apa kabar dia? Ish).
          Ketika kedua orang tuaku jatuh dari motor, dia yang lari paling cepat menghampiri keduanya. Dengan lekas dia berinisiatif memberhentikan motor yang lewat dan meminta bantuan ini-itu, sehingga orang tuaku ditangani.
          Waktu kecil hobinya main layangan, main gundu, main bola, dan permainan anak lelaki lain. Sehari-harinya adikku itu memang tomboy, cuek, tukang tidur, malas-malasan, dan santai. Namun, bila harga dirinya terluka, dia akan kejar orang yang melukainya meski orang itu dilindungi keluarganya. Nggak ngerti deh, semasa kecil dia tahu kata “takut” atau nggak. Di sekolah juga hobi berantem dengan anak lelaki yang mengganggu teman-teman perempuannya—apalagi sampai bikin nangis.
          Yang mengerikan adalah saat kakinya masuk ke jari-jari roda sepeda (waktu itu antar-jemput dengan sepeda). Ketika sampai rumah, dia nggak turun dari sepeda. Kami heran. “Turun dong, Dek!” Dia cuma bilang, “Nggak bisa turun, kaki aku masuk ke sini.” Berikutnya, kami tahu kakinya kepuntir (kepuntir ki boso indonesiane opo toh?).  Nangis juga nggak anak itu. Bikin yang lainnya panik. Kami langsung bawa ke tukang urut.
          Fiuh. Syukurlah kakinya bisa normal lagi.
          Anak itu macam-macam saja tingkahnya. Yang minum obat batuk kayak minum Aqua-lah. Glek-glek-glek. Hampir habis sebotol lalu dia nggak bisa ngomong karena kelebihan obat. Emak? Jangan ditanya paniknya. Igend memang suka minum obat. Siapa pun yang sakit, dia yang minumin obatnya (aku terbantu banget dengan kesukaan adikku yang ini karena huek aku nggak suka obat atau jamu). Em, sayangnya sekarang dia sudah nggak suka obat lagi semenjak minum obat tipesku: cacing dalam bentuk kapsul.
          Tentang kerupuk yang diceritakan dalam suratnya, waktu dia masih bayi memang aku menyuapinya dengan kerupuk. Kayaknya karena aku kasihan melihat mulutnya gerak-gerak. Mungkin dia lapar dan mau minta kerupukku, tapi nggak bisa ngomongnya.
          Kala aku belum memiliki kekasih, dengan baik hati ia bersedia mengantar atau menjemputku ke mana pun selama ia bisa. Kini, ketika aku sudah memiliki kekasih, itu masih sama saja. Hahaha. Lha ngapain aku ceritaaa?
          Kekasihku jauh, sih. Di bumi. Aku di planet otonom dekat matahari: Bekasi.
***

Adikku yang baik,
          (tenang, aku nggak minta pulsa kok. Bwek!)
          Terima kasih banyak atas suratmu. Kejadian buruk yang sudah kita alami semoga tidak terjadi lagi di lain hari. Semoga Allah selalu melindungimu di mana pun kau berada, memberimu petunjuk ke jalan yang diridhoi-Nya, dan semoga bahagia selalu meliputimu. Ingat salat dan jaga diri baik-baik. Tetaplah rendah hati dan selalu bersyukur.
          Oh ya, berhubung sekarang rambutmu nggak cepak lagi kayak waktu kecil, sini aku kucir air mancur! Ya ya ya? Hahaha.


Kakakmu yang jenius nggak selesai-selesai,


Ika Fitriana

2 komentar: