Selasa, 16 Desember 2014

Perempuan Berbaju Kotak-kotak: Barika

Ruang Raja Ampat lantai empat, 10 Desember 2014

Teruntuk Barika

Wah, Barika,
          Kaucuri start! Ahahaha.
          Ya, ya, aku tahu, kaulakukan sebisamu. Terima kasih sudah berkenan mengirim surat untukku di tengah kesibukanmu yang luar biasa itu.

Barika,
          Sejak kau membahas pertemuan awal kita di dalam suratmu, aku langsung tertarik ke masa itu. Tahu-tahu aku berada di sebuah tempat dengan cahaya temaram syahdu. Namanya Kedai Lentera, tempat berlangsungnya Malam Puisi Jakarta yang pertama. Juni 2013. Aku melihat perempuan berkacamata, berambut panjang tergerai, dan berbaju kota-kotak. Ia menyalami kami yang baru datang satu persatu. Hei, itu kamu!

Ya, Barika,
          Itu kamu. Di Malam Puisi Jakarta kau membacakan “Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana”-nya Gus Mus dengan suara lantang sambil berdiri. Di sana aku membacakan beberapa tulisanku, salah satunya ini. Kautahu, kala itu merupakan pertama kalinya entah sejak kapan aku “naik panggung” lagi. Rindu sekali rasanya dengan puisi. Rindu sekali dengan ruang pribadi di publik. Aku pulang dengan tubuh meluap-meluap gembira. Hasilnya, beberapa tulisan lahir. Ini, misalnya.

Barika,
          Pada pertemuan Malam Puisi Jakarta berikutnya hujan turun. Aku sudah terlambat semestinya. Karena hujan, ternyata yang datang baru kau. Tak lama kita malah asyik bergunjing tentang Gus Mus (puisi-puisinya dan skripsiku), Gus Dur, lalu ceritamu tentang muslim di luar negeri. Kau cerita cara orang di bandara Singapura memperlakukanmu bak teroris ketika tahu kau muslim (kala itu masih hangat berita tentang serangan 11 September), cerita kau yang diajak piknik keluarga Korea, pula tentang orang yang terpaksa salat di toilet karena akan membahayakan bila orang lain tahu dia muslim. Selain itu, kau juga cerita tentang muallaf bule yang datang ke Indonesia. Mereka heran dengan perempuan ber-tank top yang mengucap, “Astaghfirullah!” ketika di angkot atau herannya mereka melihat betapa lumrahnya orang berboncengan motor dengan yang bukan muhrim (ngojek gitu). Seru! Berikutnya, kau bersedia mengirimiku “syi’ir tanpo wathon”-nya Gus Dur. Amboi, senang rasanya bisa mendengar banyak hal baru!

          Ah, betapa mesin waktu adalah keniscayaan, ya! Dengan tuturan dalam suratmu, kita bisa kembali begitu cepat ke masa perdana Malam Puisi Jakarta. Terima kasih sudah berbagi denganku. Semoga segala kebaikan juga menempel kepadamu; semoga kau dan cookie monster-mu bisa membina keluarga samara.
          Sebenarnya masih ingin sekali kuterbangkan kata-kata kepadamu, tetapi aku harus cepat-cepat karena mesti masuk ke kelas berikutnya. Yang sedang terbayang-bayang di benakku sekarang adalah pertanyaan, “Mengapa tulang ikan disebut duri?”
          Ah ya, karena aku sayang dia.
          Dah, Barika! *kecup*


Salam,

Ika Fitriana

n.b:
Oh ya, salam untuk adikmu! Semoga Allah lekas menyembuhkan luka hatinya (dan luka tiap orang yang patah hati di dunia ini). Pula semoga kelak ia menemukan kebahagiaan sejatinya!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar