Teruntuk
kamu yang pernah kusebut “Bebek”
di
sudut pikir
Hai,
kamu.
Apa
kabar?
Semoga
kita selalu bahagia
di
mana pun kita berada.
Datangnya
surat ini kepadamu
bukan
untuk memintamu kembali.
Tenang
saja.
Malah,
kau bisa baca berdua dengan pacarmu.
Silakan
saja.
Hanya
saja, bilang padanya untuk menyiapkan hati
kalau-kalau
ia jatuh cemburu.
Tentu
aku tidak bermaksud membuat siapa-siapa
cemburu
terhadapku.
Aku
cuma mau bilang yang belum sempat kubilang padamu
saat
kita akhirnya memilih tidak bersama.
Kamu
boleh tenangkan hatinya dengan mengatakan
bahwa
dialah masa sekarang dan masa depanmu.
Aku
cuma fragmen dari masa lalu.
Dengan
begitu, kuharap kamu tak menderita
karena
kecemburuannya.
Kamu
yang baik,
ini
merupakan epilog atas segala cerita
yang
bertitel “kita”.
Aku
harap kita masih bisa mengakhiri semua
dengan
akhir yang baik.
Aku
tahu dan sadari,
masa
kamu menggembok sepatuku dan menyembunyikannya di genting sekolah
sudah
berlalu.
Masa
kamu mengambil fotoku diam-diam
sudah
berlalu.
Masa
kita berkencan ke perpustakaan nasional
sudah
berlalu.
Masa
kamu datang ke rumahku dengan bersepeda
sudah
berlalu.
Masa
kamu memberiku replika tugu khatulistiwa
sudah
berlalu.
Masa
rokku masuk ke jari-jari motormu
sudah
berlalu.
Ah,
itu waktu.
Sekarang,
Melalui
ini,
aku
mau mengucapkan dua hal kepadamu:
maaf
dan terima kasih.
Aku
minta maaf untuk segala hal
yang
menyakitimu dulu
—bahkan
mungkin hingga sekarang—
yang
berasal dariku.
Aku
minta maaf untuk segala hal
yang
membuat hubungan kita rusak
terutama
yang berasal dariku.
Terima
kasih untukmu,
orang
yang pernah kusebut “Bebek”,
karena
bagiku kau orang yang selalu ceria dan lucu.
Terima
kasih sudah (pernah) hadir di hidupku.
Kamu
menjadi pelajaran yang terbaik untukkku.
Disadari
atau tidak, kamu mendewasakanku
—semoga
mendewasakanmu juga—
meskipun
mungkin dengan cara yang hanya kita
pahami
sendiri.
Aku
sangat bersyukur
aku
dipertemukan denganmu.
Bukankah
Allah punya alasan ketika mempertemukan
seseorang
dengan orang lain?
Darimu
aku belajar memahami diri sendiri
dan
tentu belajar memahamimu.
Darimu aku belajar berterus terang
terutama mengenai perasaan sendiri—bahkan kepada diri
sendiri.
Darimu aku belajar bangkit
saat diri terpuruk.
Darimu aku belajar menerima
segala nyata dari skenario Allah Yang Mahabaik.
Karenamu aku merasa cemburu,
karenamu aku merasa bahagia,
karenamu aku merasa patah hati,
seperti permen aneka rasa itu layaknya.
Aku tidak menyesal dengan yang sudah terjadi
di antara kita.
Awalnya kecewa, iya.
Patah hati, iya.
Cemburu, iya.
Namun, kurasa semua itu proses…
proses kita bermetamorfosis menjadi makhluk dewasa.
Kamu tahu,
masih ada kamu di diriku
—ah, sampaikan maafku pada kekasihmu, sebelumnya—
bukan seperti yang dulu, tapi
lebih sekadar cerita masa lalu saja.
Kutempatkan cerita kita di satu sudut
yang hanya kubuka jika perlu belajar.
Melalui surat ini kubilang,
aku melepaskanmu.
Aku rela untuk semua hal yang sudah terjadi,
aku rela untuk semua hal yang tidak terjadi,
aku rela untuk semua hal yang akan terjadi.
Cukuplah tawa kita di masa lalu
hanya hidup di masa lalu.
Aku melepasmu,
bahagialah.
Tidurlah yang nyenyak tiap malam.
Aku pun begitu.
Demi segala luka,
demi segala tawa,
demi semua yang pernah kita alami bersama,
mari kita berbahagia
—tentu dengan cara kita sendiri.
Aku harap,
kita tidak lupa tentang kita.
Aku harap,
kita bisa belajar dari kita.
Aku harap,
kita tidak mengulang kesalahan kita.
Aku harap,
kita berbahagia.
Di mana pun kita berada.
Siapa pun yang bersanding di samping kita.
Pun aku harap,
kamu menjalin kontak kembali dengan teman-temanmu,
teman-teman kita.
Kamu boleh putus kontak denganku,
tapi jangan dengan teman-teman kita.
Mereka urusan di luar kita.
Untukmu, hai, bebek cinta pertamaku,
di sini kunyatakan perasaanku
yang dulu bahkan dengan sikap
tak mampu kuungkap.
Bebekku, kekasihku, aku mencintaimu.
Dulu.
Rawamangun, 19 September 2012
Tertanda,
aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar