Minggu, 06 September 2015

Nama untuk Diri Sendiri

Namamu siapa?
Suka dengan nama itu?
Berencana ganti nama?

          Mulanya saya membaca potongan biografi tentang Andrea Hirata di buku materi kelas VIII. Yang menarik, Andrea Hirata tidak menyukai nama sejak kecilnya, yakni Aqil Barraq Badruddin. Ia pernah menggantinya dengan Wadhud. Akan tetapi, ia masih “merasa terbebani” (menggunakan bahasa di dalam buku tersebut) dengan nama itu. Jadilah ia mengganti namanya dengan Andrea Hirata.
          Saya lantas berpikir, Ada berapa orang yang tidak puas dengan namanya lalu mengganti nama?
          Ingatan saya berpindah-pindah dari Kugy yang pengin ganti nama jadi Kugy Charmaleon lalu ke beberapa orang terdekat saya. Memang sih ya, waktu kecil kita tidak bisa tidak menerima nama pemberian orang tua, tapi sekarang? Kita bisa menentukan nama untuk diri kita sendiri. Sebuah brand. Halah.
          Kalau dikembalikan ke masalah gender nih, biasanya masyarakat (bahkan sering juga perempuan itu sendiri; konteksnya keperempuanan) akan melabeli perempuan bersuami dengan kata “nyonya” yang dijejerkan dengan nama suami. Kita akan kenal Nyonya Anu (ganti “anu” di sini dengan nama suami). Nggak repot atau bingung cari nama karena sudah ada nama yang dipersiapkan.
          Saya bukan menolak ide menggunakan nama suami sebagai pengganti nama diri, nggak seekstrem itu. Kadang saya juga tertarik membayangkan saya menyandang nama suami (nantinya). Cuma memang, sayang kalau nama saya mesti hilang. Saya tetap menginginkan orang kenal saya sebagai Ika Fitriana, bukan hanya Nyonya Anu.
          Bicara-bicara, kenapa lelaki itu tidak ada yang menamakan dirinya dengan nama istrinya ya? Tuan Ikaf, misalnya.
          Eh, fokus. Gimana menurutmu? Kamu pengin ganti nama?

(21 Agustus 2014)


2 komentar:

  1. Eh! aku jadi inget, kelas dua SD du pernah pengen ganti nama jadi "LUCKY"

    :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wow!
      Nama panjangnya pasti "Lucky I'm in love with my bestfriend". Ya kan ya kaaan?

      Hapus