Ini
sebuah kemewahan bagiku. Wajahnya yang tertidur pulas di pangkuanku. Tanganku tidak
tahan tidak membelai rambutnya.
Tak
lelo lelo lelo ledung
Cep
menenga aja pijer nangis
Di
tengah pipinya yang lapang, kudaratkan sebuah kecupan. Entah bagaimana, ciuman
itu mengundang senyum. Seolah aku berhasil menjadi juara satu lomba lari.
Dadanya
yang penuh membentang menghadap langit. Kubayangkan aku berumah di sana. Dengan
jari kutuliskan namaku di dada itu.
Tak
gadang bisa urip mulyo
Dadiyo
priyo kang utomo
Mulutku
masih bersenandung sambil pelan-pelan kutempelkan lagi bibirku ke pipinya. Dengan
tiba-tiba, bibirnya melumat bibirku. Sejenak aku terpana, sisanya kubalas
memagut bibirnya dengan tak kalah rakus.
“Gimana
aku bisa tidur kalau gini caranya, ha?” protesnya.
Aku
nyengir.
Berikutnya,
bibirnya sudah menghabisi jejak-jejak lipstikku dan tangannya sudah bermain di
taman lingkar putingku.
(27 Agustus 2015)
Sebuah kisah yang manis, saya suka mbak. Bersama orang yang kita cintai adalah saat paling lambat sedunia, seolah waktu berhenti, dan nafasnya berirama menahan rotasi bumi... :)
BalasHapusYak, betul. Sayang kalau kebersamaan tidak dihayati.
HapusEtumben tulisan Ikaaf rasanya agak lain kali ini!
BalasHapusSedang mencoba rasa-rasa baru, Va. Semoga bisa dinikmati. Haha!
HapusHahahaha. *loh, kok aku ketawa? :(*
BalasHapusHmmmmmppppphhhh.. :(
Hapus