Sabtu, 22 Agustus 2015

Upaya Mencari Matahari di Bukit Moko

          Bandung menjadi salah satu kota yang dingin bagiku. Namun, 17 Mei 2015 lain. Aku mendapati bahwa Bandung cukup dekat dengan matahari—dan hei, kau masih bilang Bekasi yang sejengkal dari matahari? Bandung panas sekali ketika aku datang.
 
Taman yang mengingatkanku kepada Vanda Kemala. Aku mengernyit kepanasan.

          Dalam rangka menghirup aroma hijau, aku terbang (ya kan aku bidadari!) ke Bandung. Sekitar pukul setengah 9 aku sudah di taman balai kota. Tempat ini menjadi tempat yang betul kuperlukan: pohon rindang, udara segar, burung bernyanyi, dan bus tingkat!
          Beragam kegiatan orang di taman balai kota: latihan parkour, latihan tari, main bola dengan kelompok kecil, main bulu tangkis, belajar jalan (bagi balita), konser tim persib, dan uhm, pacaran! Yah, sebagaimana lazimnya taman yang lain, kupikir.
          Ada kolam besar dengan patung badak di bagian tengah. Jangan tanyakan kepadaku alasan badak itu ada di situ, nggak tahu. Mungkin ketinggalan rombongannya waktu mandi dan teman-temannya sudah balik ke kayangan.
          Kalau kaupejamkan matamu sebentar, suara yang akan kaudengar: cicit burung, tawa orang-orang, desing pesawat (cukup rendah pesawat terbang di sini, mirip emaknya burung), dan lagu-lagu konser dari pengeras suara.
          Ketika kau fokus ke penciumanmu, kau akan menangkap berbagai aroma: makanan (sate entah apa hingga kerak telor!), pohon, tanah, dan aroma segar sabun mandi bercampur parfum orang di sampingku. Seru, ya! Sayang, di tempat ini aku tak sempat berfoto karena sibuk menikmati (nggak sempat naik bus tingkat juga, uh!).
          Dari balai kota kami—aku dan kekasih—berjalan kaki ke alun-alun. Untuk mencapai alun-alun, kami melewati area car free day (CFD) di Jalan Asia Afrika. Langkahku terhenti. Bumi manusia!
          Ya, begitulah. Di area CFD aku menyadari betul bahwa ternyata manusia di Bumi ini banyak, ya! Ummm… dan aku harus melewati orang yang banyak itu untuk ke alun-alun?
          Kepalaku langsung pusing.
          Mudah sekali mabuk. Nggak perlu ngebir, lihat orang banyak saja sudah mabuk.
 
Manusia di Bumi ini ternyata banyak sekali!

Salah satu gedung bersejarah di Bandung


          Sampai alun-alun, kami sarapan kupat tahu—eh, aku yang makan kupat tahu, dia batagor. Bagi yang belum tahu, kupat tahu itu beda dengan ketupat sayur lho, ya! Kupat tahu lebih mirip dengan ketoprak: lontong, tahu, tauge, kerupuk, dilengkapi dengan bumbu kacang. Sepuluh ribu satu porsinya.
          Alun-alun itu tampak seperti pelataran masjid biasa saja bagiku. Yang membedakan memang karpet rumput hijau yang terhampar (kayaknya di banyak tempat di Bandung menggunakan ini) dan ada labirin (yang mirip permainan COC!). Di bagian lain ada jungkat-jungkit untuk anak-anak. Sayangnya, jumlah jungkat-jungkit dan ayunan di sana hanya sepasang. Tidak sebanding dengan jumlah anak-anak yang antre. Semoga di masa yang akan datang jungkat-jungkit dan ayunan di sana bisa ditambah agar tak banyak anak-anak yang menangis karena terlalu lama antre.
          Di alun-alun kami tidak lama. Terlalu banyak orang. Lagipula, aku sedang mencari pohon rindang dan rumput betulan.
          Akhirnya, kami menuju destinasi utama kami: Bukit Moko. Bila di Balai Kota dan alun-alun pengunjung tidak dikenakan biaya (selain untuk parkir dan keperluan pribadi), untuk masuk ke Bukit Moko kita harus membayar Rp8.000,00. Murahlah.
          Kami—em, sebetulnya dia sih—memasang hammock (tempat tidur gantung) di antara pohon pinus. Selebihnya acara kami adalah tidur. Dia yang tidur. Aku tidak bisa. Gimana bisa, tiduran belum lama, aku sudah menggigil kedinginan. Tangannya tak bisa kugapai jadi tidak bisa menghangatkan.

Sambil menunggu hammock dipasang, aku foto kakiku aja. Calon surga.
 
Melihat gayanya memasang hammock, aku jadi teringat Superman. Barangkali begini gaya Superman nyangkutin jubahnya setelah terbang. 
  
Hammock yang sudah terpasang dan siap untuk ditiduri!

 
Tidur aja foto-able, ya!


          Karena kedinginan, aku berjalan sendiri melihat pemandangan. Aku berniat mencari hangatnya matahari di hutan pinus yang dingin ini. Cahaya matahari ada, tapi tidak menghangatkan.
          Matahari baru terasa cukup hangat di Puncak Bintang. Masih bagian Bukit Moko. Disebut Puncak Bintang karena memang ada bintang yang besar sekali terpancang di sana.

Ini yang kulihat sambil tiduran.

Pemandangan berkabut Kota Bandung

Puncak Bintang

Jalan setapak menuju Puncak Bintang yang sudah oke. Kalau tempat kami bersantai, jalanannya masih tanah.

Ada perkebunan di sekitar Bukit Moko ini.

Hem, jadi tinggiku bukan 158 cm?

          Oh ya, untuk bisa ke Bukit Moko, kita harus membawa kendaraan pribadi. Tidak ada transportasi umum di sana. Jalannya cukup ekstrem, kau perlu teknik mengendarai yang mumpuni dan kendaraan yang sehat untuk bisa parkir di tempat terdekat dengan Bukit Moko. Kalau nggak, ya parkir di bawah lalu jalan kaki untuk ke Bukit Moko.
 
Mestinya aku foto tanjakan yang kubilang ekstrem itu, bukan typo tulisan ini, ya!
          Ini kucatat beberapa hal yang perlu dipersiapkan kalau mau ke Bukit Moko:
1.     Makanan di sana (warung terdekat dengan Bukit Moko) mahal sekali. Kalau mau makan, kusarankan yang letaknya di bawah saja. Cuma memang siap-siap nanti naik lagi. Bilang ke petugas tiket Bukit Moko kalau kita akan balik lagi. Kami makan di Sindang Rahayu. Harganya lumayan murah. Aku beli nasi goreng dengan isian sosis, telur, dan irisan ayam seharga Rp15.000,00 (dan dapat air mineral gelas gratis!). Nasi gorengnya enak banget buatku! Nasi tutug oncom seharga Rp18.500,00. Nasi tutug oncom dilengkapi dengan ayam goreng. Kalau menurutmu masih terlalu mahal, bawa bekal sendiri saja, ya!
 
Menggoda perempuan lain di depanku!
Ehem, sebenarnya aku mau kasih tahu warung Sindang Rahayu.

2.    Tidak banyak yang bisa dilakukan di Bukit Moko. Kau bisa membawa hammock untuk bersantai, membawa gitar untuk asyik bersama teman-teman, atau bikin kegiatan sendiri.
3.    Jarak antara parkir bawah dengan Bukit Moko itu cuma 500 meter, taaapiiiiii… tanjakannya ekstrem! Sebaiknya gunakan pakaian yang nyaman dengan alas kaki yang bisa dipakai untuk naik gunung. Jangan pakai wedges atau hak runcing, Mbak!


Mari berbahahahagia!
(21 Mei 2015)





5 komentar:

  1. Hahahaa, ini kah salah satu kisah perjalananmu di tempat hijau yang tidak bisa ditulis panjang-panjang yang dapat menyembuhkan jiwa raga itu?

    Yang ini panjang sekali dibandingkan tulisanmu lainnya dan ada banyak foto pendukungnya lagi.

    Kalian sampai sore dan malam tidak di sana?
    Daya tarik utamanya justru melihat sunset dan city light.


    Btw, kok muka kekasihmu tampak sangat familiar yah. Apa kabarnya dia? he he he.

    BalasHapus
  2. Ahahaha.. Bukan, bukan, bukan ini yang mau kutulis. Yang kumaksud itu belum berhasil aku tulis (dan bukan tentang alam hijau).

    Tentang nulis panjang, iya sih di sini napasku lumayan panjang. Aku berharap orang bisa menikmati Moko sepaling-palingnya. Terutama bagian mainan anak-anak, aku harap Pemda Bandung atau pihak terkait bisa betul memperhatikan.

    Kami tidak sampai malam di sana, Va. Sudah jadi es doger aku kalau malam masih di situ. Mungkin lain kali.

    Btw, hahahaha.. Kabarnya kau tanyakan sendiri sajalah.

    BalasHapus
  3. Klo ke Puncak Bintang lebih baik bawa tenda buat di camping ground Puncak Bintang-nya, bayar sih tapi view disana memang bagus buat liat sunset dan sunrise.
    Buat makanan disana memang relatif mahal seperti di (Wr. Daweung Moko) tp ada yang lebih MURAH dan menu-nya dipastikan ENAK dan BERSIH kebetulan ya di Wr. sindang Rahayu.
    Untuk jalan sekarang sudah bagus tidak lagi bebatuan atau tanah dan tempat parkir sebenarnya harusnya yang diatas (diatas jajaran warung2 yang berderet) klo dibawah itu parkir liar.
    Semoga informasinya membantu barangkali berniat untuk tahun baruan 2015-2016 disana. Thanks

    BalasHapus
  4. Klo ke Puncak Bintang lebih baik bawa tenda buat di camping ground Puncak Bintang-nya, bayar sih tapi view disana memang bagus buat liat sunset dan sunrise.
    Buat makanan disana memang relatif mahal seperti di (Wr. Daweung Moko) tp ada yang lebih MURAH dan menu-nya dipastikan ENAK dan BERSIH kebetulan ya di Wr. sindang Rahayu.
    Untuk jalan sekarang sudah bagus tidak lagi bebatuan atau tanah dan tempat parkir sebenarnya harusnya yang diatas (diatas jajaran warung2 yang berderet) klo dibawah itu parkir liar.
    Semoga informasinya membantu barangkali berniat untuk tahun baruan 2015-2016 disana. Thanks

    BalasHapus