Al-ummu madrasatul ula; idza
a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq
(Ibu adalah sekolah utama; bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik).
(Ibu adalah sekolah utama; bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik).
Nanti
anakku mau disekolahkan di mana, ya?
Ya
emang sih, Zus, menurut ungkapan di atas, kita ini sekolah bagi anak-anak kita,
tapi kan plis, nggak seliteral ituuu.
Ya nggak, sih?
Pernah
ada yang mengusulkan homeschooling aja.
“Kan mamanya (alias aku!) pengajar.”
Maksudnya
aku jadi sekolah (secara literal) untuk anakku? Lah, kesian amat anakku.
Iyalah. Masa dia tahunya pengetahuan tunggal: dari aku? Miskin ilmu (dan
pengetahuan) nanti.
Di
luar sana masih banyak hal yang bisa ia pelajari, yang tidak ia dapatkan dari
aku. Ya, kan?
Awalnya gini, Zus,
Aku
menemukan ini dari siswaku:
Itu
bacaan siswa kelas 4 SD. Berat, menurutku. Meski dikemas dalam bentuk komik,
buku itu berat secara isi. Buku itu membahas misalnya alasan Napoleon gagal menjajah
Rusia. Kan berat ya, Zus? Buat anak SD, lho! Berikutnya, lihat ini:
Bercandanya
mukul gitu, Zus! Gimana aku nggak khawatir membayangkan zaman anakku nanti?
Aku
cemas membayangkan pergaulan anakku nanti dengan sesamanya—atau ya lingkungan
apa pun yang ditemuinya. Itu sebab usulan homeschooling
muncul. Jika aku khawatir melepas anak ke luar, ya belajar di dalam rumah
saja. Kurang lebih logikanya begitu.
Ya
tapi aku nggak mau, Zus. Alasannya sudah kuungkap di atas. Aku perlu anakku
bersosialisasi dengan banyak teman sebayanya. Setahuku, homeschooling itu lebih terbatas dalam hal sosialisasi.
Belum
lagi kontrol disiplin. Kalau homeschooling
kayaknya lebih kuat, mesti lebih kuat, kontrol disiplinnya. Disiplin
pribadi. Itu PR buatku, Zus. Hahaha.
Ada beberapa hal yang aku catat tentang homeschooling:
1.
Anak-anak yang memilih homeschooling umumnya anak yang waktunya
terbatas, sehingga tidak bisa ikut sekolah formal. Masuk dalam jajaran ini
atlet atau artis.
2.
Beberapa anak yang homeschooling merupakan anak yang bermasalah (entahlah dengan
ungkapan “bermasalah” ini). Ada yang malas bangun pagi, ada yang klepto, dan seterusnya.
3.
Anak berkebutuhan khusus. Kupikir
bagian ini cukup jelas.
4.
Ada anak yang ikut homeschooling, tetapi ia juga ikut sekolah formal. Ini sebab orang
tuanya ingin membandingkan antara homeschooling
dengan sekolah formal.
5.
Beberapa anak yang ikut homeschooling ini berasal dari keluarga
berada, tetapi rumah tangga orang tuanya bermasalah.
Pernah
juga aku bertemu pengajar homeschooling yang
lain. Ia mengajar anak usia SD yang memiliki lima buah mobil. Temanku ditanya,
“Miss punya mobil berapa?”
Karena
temanku tidak memiliki mobil, ia lantas menjawab, “Miss tidak punya mobil.”
“Oh,
berarti Miss orang miskin, dong?”
(Entahlah, aku nggak bisa menyalahkan anak itu seratus persen karena itu kebenaran yang dia punya: nggak punya mobil = orang miskin).
Gitu,
sih. Aku kepengin anakku nanti punya dasar agama yang bagus dengan tetap luwes
dalam pergaulan. Wawasannya juga tidak dangkal. Hm, semoga anakku sepaham
denganku. Ya kan nggak enak juga kalau aku mesti menentukan masa depannya. Ya kan?
Sekarang aku ngobrol dulu deh dengan (calon) bapaknya.
Sekarang aku ngobrol dulu deh dengan (calon) bapaknya.
Kalau aku ngga setuju dengan homeschooling karena si anak bagaimana pun harus belajar bagaimana beradaptasi dengan udara panas dan dingin, cuaca, begitu dia buka pintu rumah mau sekolah dia bisa ngerasain itu. Dan beradaptasi dengan anak-anak seumurnya yang tentu saja punya karakter yang berbeda, harus mampu mengikuti aturan sekolah dan gimana caranya hormat dengan "Mama" yang ada di kelas.
BalasHapusDan masih banyak lagi ... sebab menurut riset (entah lupa) perkembangan anak belajar dan pembentukan "mental" belajar adalah saat menginjak usia 7 tahun. Gitu.
Iya, aku juga. Sebisa mungkin anakku belajar di luar. Berkenalan dan merasakan sekolah formal (emmm, sekolah kayak Tomoe Gakuen seru juga sih..).
BalasHapusJauh setelah tulisan ini dibuat (aku lupa mencantumkan tanggal penulisan; mungkin ditulis sekitar setahun atau dua tahun lalu), aku bertemu dengan anak HS. Ada yang HS karena orang tuanya sering berpindah-pindah tempat, ada yang karena menjadi korban bully-ing di sekolah formal. Ada yang menjadi pendiam dan takut melihat orang baru, ada yang justru merasa gembira sekali karena biasanya dia memang tidak berinteraksi selain dengan kami. Kesamaan mereka yang bertemu denganku: tidak bergabung dengan lembaga HS mana pun dan hanya ikut bimbel. Gitu.