Sebuah
akun puisi menantang dengan kata “jemari”. Aku lantas teringat kepadanya. Dia
yang dulu pernah mengulurkan tangan kepadaku dua kali. Ya, dua kali. Itu pun
aku tak sanggup memandang wajahnya.
Pertama,
saat latihan paskibra. Kala itu kami diminta baris-berbaris di selokan.
Dalamnya kira-kira sebetis. Tangannya terulur sewaktu aku membutuhkan bantuan
untuk naik ke jalan.
Tangan-tangan kurus itu menyapa jemariku.
Kedua,
ketika berkeliling Pulau Rambut. Aku sekelompok dengannya. Ah, apa kautahu
senangnya aku? Tangannya berperan membantuku melewati hutan bakau yang sedang
pasang. Air mencapai pinggul. Kakiku sempat terperosok—saat itulah jemarinya
menyapa.
Mengingatnya,
dengan kata kunci “jemari”, aku anggit sebuah puisi:
Melalui jemari
segala rasa terulur,
tersampaikan
—kita tak perlu bicara apa-apa.
Kautahu,
jemariku selalu ingat jejak tanganmu
—dan mereka sudah tahu,
tangan itu tak lagi menyapa mereka
seterusnya.
Cie cieee... yang lagi kangen ;-)
BalasHapushihihi..
Hapusbegitulah.
Kemanakah si pemilik jemari itu?
BalasHapushiks. jangan ditanyaaaa.. :'(
HapusAkkhhh, Emaaakkkkk keren deh puisinya .............
BalasHapusihiyyy.. makasih, Evaaaaaa.. :*
Hapusmakasih infonya, ada cerita seru, ga nyesel deh kalo dah baca(blog saya juga dofollow auto aprove lho) main ke sini yuuk http://www.bukuhidupandre.blogspot.com
BalasHapus