Tiap pulang kerja, saya sering
melihat tulisan untouchable dicoret
entah siapa di tembok. Untouchable,
tak tersentuh. Nggak ngerti gimana cara kerjanya, otak saya langsung
membayangkan seorang perempuan matang, mapan, lajang.
Saya
memang pernah berpikir tentang ini. Tentang perempuan matang yang sudah mapan,
tetapi masih lajang. Siapa orangnya, lelaki mana kiranya, yang dengan gagah
berani mendekatinya?
Laki-laki
mana pun saya pikir akan jiper kalo ketemu perempuan seperti ini. Lantas saya
kepikiran dua hal—ah, saya minta maaf, bukankah perempuan suka sekali
berasumsi?—yaitu: (1) si laki-laki harus “melebihi” apa yang dipunyai
perempuan, atau (2) si perempuan mencari cara agar si lelaki tampak
melebihinya. Kenapa saya bilang begitu? Em, ini atas pengamatan suka-suka saya
aja, sih, laki-laki nggak suka perempuan melebihi dia. Kalaupun ada lelaki
begini, lelaki berhati lapang dan berjidat lapang (maksudnya pikirannya luas
gitu karena bisa menerima hal itu) pasti
jaaaraaaaanggg banget. Kalo ada, sini saya ajak salaman.
Tiap
orang punya kelebihannya sendiri-sendiri. Kelebihan-kelebihan itu harus
digunakan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan orang terkasih kita. Kalau
semua orang berpikir begini, pasti nggak ada minder, nggak ada rendah diri—terutama
yang kaitannya dengan gender.
Kalo
emang si perempuan “lebih” dari laki-laki ya akuin aja, terima. Kalo nggak
suka, misalnya karena si perempuan kuliah sedangkan laki-lakinya tidak, ya
tinggal kuliah lagi. Semua ada jalan keluarnya, kan? Yaaaa… kecuali emang
dasarnya pengecut. Susah. Harusnya kan jangan biarin rasa minder meraja di
dirinya.
Ehm,
oke (benerin jilbab), nggak maksud marah-marah sih sayanya, cuma jadi kebawa
emosi aja. Maklumlah, darah muda. Btw, buat perempuan-perempuan yang secara
kasat mata dianggap “untouchable”
tetap semangat, ya! Jiwa yang besar untuk jiwa yang besar pula. Jangan harapkan
laki-laki berjiwa sempit. Hih. *eh? Lah?*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar