Senin, 17 September 2012

"Guru"

      Pagi-pagi saya sudah galau tentang "guru" di twitter. Sebenarnya tidak tiba-tiba galau, saya sudah galau sejak semula, sebelum saya mengajar. Jadi yang terjadi kemudian berupa penarikan ingatan dan rasa mengenai "guru" yang ada di dalam diri saya, yang sekian lama terepresi.
     Ingatan pertama saya tentang pengajar yang membawa masalahnya ke kelas, termasuk saya. Seringkali saya masih kecolongan dengan membawa-bawa masalah di luar kelas ke dalam kelas. Ini yang selalu saya ingatkan kepada diri saya:
      Bagi seorang pengajar, penting sekali, sebelum masuk kelas ia harus
      menanggalkan masalahnya di depan pintu.. Sulit, tapi bisa.

    Mengapa saya gunakan ungkapan "pengajar"? Begini:
      Bagi saya, guru menjadi predikat yang sakral. Itu sebabnya di awal
      mengajar saya menekankan bahwa saya "pengajar", bukan guru.. 

     Apa alasan saya? Ini dia:
      Guru itu mulia, berbudi pekerti luhur, penyayang, dan dapat memahami 
     anak didiknya.. Dan saya belum sampai di titik itu.

     Ya. Saya merasa saya belum pantas disebut guru. Untuk nyemplung ke sekolah apalagi. Masih perlu banyak pertimbangan. Saya tidak mau menjadi guru "cuma" untuk uang--sebagaimana yang saya jalani sekarang. Saya harus punya alasan yang lebih kuat dari itu.
      Saya masih merasa sebagai "orang yang bekerja". Mengajar adalah job
     desk saya. Dangkal? Ya. Tapi ini proses.. 

     Barangkali nantinya saya akan berakhir di sekolah (toh, salah satu cita-cita saya adalah memunyai sekolah seperti sekolah Totto-chan). Namun, sebelum itu, saya perlu belajar di luar. Belajar tentang banyak hal. Mengejar mimpi-mimpi saya yang lain.
     Banyak perilaku oknum guru yang membuat saya parno, yang membuat saya berulang kali mengingatkan untuk menghindari perilaku semacam itu. Kalau saya sendiri saja tidak suka, bagaimana bisa saya bisa berharap orang lain menyukai perilaku itu?
    Ada oknum guru yang terang-terangan minta uang dari siswanya untuk nilai yang bagus. Ada juga yang tanpa malu-malu (mungkin putus urat kemaluannya) menyebutkan sejumlah barang yang diinginkannya kepada orang tua siswa. 
     Saya seringkali tidak habis pikir, bagaimana bisa orang yang menyebut
    dirinya guru memberi senarai permintaan pada siswa/ortu?
    Dia pikir orang tua siswa itu penjelmaan om jin apa?  

Saya harap, semoga guru-guru yang mumpuni semakin banyak di negeri ini... .
http://aribicara.blogdetik.com/files/2010/11/kartun-ngajar.jpg

2 komentar:

  1. Wah mba ika seorang guru? eh pengajar? hehe ngajar apa mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha.. ngajar bahasa Indonesia, di bimbel..

      Hapus