Jumat, 25 Mei 2012

Kacamata: Negeri 5 Menara


Setelah tertunda-tunda, akhirnya gw selesai juga baca Negeri 5 Menara karangan A Fuadi. Ini catatan gw tentang novel tersebut:
1.      Mengingatkan gw dengan keinginan mondok di Gontor. Yap, dulu waktu kelas 4 SD, gw punya keinginan nyantren di Gontor setelah lulus SD. Sayangnya, rencana itu bubar jalan pas gw lulus. Alasan persisnya gw lupa, tapi yang jelas, ya.. batal mondok deeeh.. (eh, Gontor ada pesantren putrinya, nggak, sih?).

2.     Menerbitkan (kembali) niat bermimpi yang begitu besar. Dasarnya gw tukang mimpi, eh, baca novel yang menawarkan kemungkinan mewujudkan impian. Dia aja—tokoh-tokoh dalam novel itu—bisa wujudin mimpinya dan mendatangi “menara” yang sesuai dengan keinginannya, masa gw, nggak? Makin jadi aja pengen ke Leiden. Etapi, setelah baca novel ini jadi pengen tau Cordoba juga. Hehehe..

3.     Sebagai sebuah novel, cerita Negeri 5 Menara beralur datar. Flat. Dia nggak berani keluar jauh-jauh (atau mungkin nggak keluar sama sekali?) dari cerita nyatanya. Keliatannya gitu menurut gw. Klimaksnya nggak diramu secara tajam. Ini kayak lu makan nasi pake tempe tapi nggak pake sambal. Mungkin ini faktor yang bikin gw nunda-nunda baca, apalagi sebelumnya gw baca novel yang kuat banget ceritanya.

4.     Si penulis, A Fuadi, keliatan bangga banget dengan pesantrennya. Gw bayangin, dia nulis dengan emosi yang meletup-letup—dalam pengertian positif. Jadi, siapa pun yang baca novel ini, gw yakin, bisa ngerasain emosinya. Ya, wajar, sih, pesantrennya keren banget!

5.     Dengan asas sotoy marotoy slow enjoy, gw pikir, novel ini nggak diedit dengan optimal (atau emang sengaja?). Barangkali bahasa sastra emang beda dengan bahasa konkret dunia sehari-hari kita, tapi tetep aja pengaruh juga. Contoh, penggunaan konjungsi setara “dan” atau “sedangkan” yang digunakan di awal kalimat (bahkan ada yang di awal paragraf). Terus, ada beberapa kata Indonesia yang tidak baku (selain bahasa daerah, lho, ya!). Gw pikir, sih, seharusnya kata-kata itu diubah jadi kata baku dulu, kali, yak!
Eh, tapi, tapi, kayaknya novel-novel dari penerbit itu emang nggak banyak ngubah bahasa asli dari pengarang, deh. Mungkin karena kalo diubah jadi mengubah maknanya atau apa.

6.     Secara keseluruhan, gw setuju ma komen orang-orang: inspiratif banget! Bikin gw inget Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karangan Tetsuko Kuroyanagi yang ngomongin pendidikan juga walaupun di sana-sini masih perlu penjembatan.

 Oke, selamat, deh, untuk A Fuadi karena telah merasakan pendidikan yang bagus, manisnya mewujudkan mimpi, hingga melahirkan buku ini! Selalu semangat! Kamu juga, kawan! Wujudkan mimpimu! Man jadda wa jada! ^^   

2 komentar:

  1. Aku juga bikin review singkat buku ini di sini : http://www.goodreads.com/review/show/520275988

    BalasHapus