Novel
Botchan karangan Natsume Soseki juga
salah satu novel yang gw tunda-tunda baca. Udah baca sebagian terus nggak
dibaca terus dibaca ulang terus mandeg terus ulang, dan seterusnya. Semula gw
pikir dia bakal kayak Totto-chan juga
karena di sinopsis diberitahukan bahwa novel Botchan bercerita tentang seorang guru yang melawan sistem desa. Namun,
ternyata beda banget!
Pengertian “Botchan” kalo gw artiin
sendiri dalam bahasa Indonesia mungkin sepadan dengan “Den Bagus”. Tokoh botchan
dalam novel juga seorang tuan muda. Dia keturunan bangsawan Jepang yang badung.
Dia dicap nakal oleh keluarga dan orang lain. Cuma satu yang bilang dia anak
baik, yaitu Kiyo, pengasuhnya. Kiyo selalu berpendapat bahwa Botchan sebenarnya
anak yang tidak egois, suka berterus terang, dan jujur.
Oke, ini catatan gw tentang Botchan:
1.
Baca
novel ini seolah-olah ada tulisan besar terpampang di muka gw: sastra klasik. Banget.
Ya, novel ini emang jadul banget. Udah dialihbahasakan
ke berbagai bahasa dan di Jepang sendiri katanya cerita ini terkenal. Klasik,
antik, menarik. Begitulah.
2.
Botchan
sangat manusiawi. Guru yang manusiawi, bukan guru yang selalu sadar “Gw ini
guru” atau apa. Kita—oke, gw deh—dibawa seolah-olah gw ini adalah Botchan yang
impulsif. Lebih sering emosional. Ya, guru yang emosional tapi berhati lurus. Keliatan
kasar tapi benar, tidak berpura-pura atau mengada-ada. Sementara itu,
orang-orang di sekitarnya digambarkan sebagai orang-orang yang halus
tetapi menikam.
3.
Murid-murid
Botchan baduuuuung. Nyebelih. Ih. (Loh, ini kenapa gw yang emosi gini? ß ngerasa jadi Botchan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar