Setelah tertunda-tunda, akhirnya gw selesai juga baca Negeri 5 Menara karangan A Fuadi. Ini catatan
gw tentang novel tersebut:
1. Mengingatkan gw dengan
keinginan mondok di Gontor. Yap, dulu
waktu kelas 4 SD, gw punya keinginan nyantren di Gontor setelah lulus SD. Sayangnya,
rencana itu bubar jalan pas gw lulus. Alasan persisnya gw lupa, tapi yang
jelas, ya.. batal mondok deeeh.. (eh, Gontor ada pesantren putrinya, nggak,
sih?).
2. Menerbitkan (kembali) niat
bermimpi yang begitu besar. Dasarnya gw tukang mimpi, eh, baca novel yang
menawarkan kemungkinan mewujudkan impian. Dia aja—tokoh-tokoh dalam novel itu—bisa
wujudin mimpinya dan mendatangi “menara” yang sesuai dengan keinginannya, masa
gw, nggak? Makin jadi aja pengen ke Leiden. Etapi, setelah baca novel ini jadi
pengen tau Cordoba juga. Hehehe..
3. Sebagai sebuah novel, cerita Negeri 5 Menara beralur datar. Flat. Dia
nggak berani keluar jauh-jauh (atau mungkin nggak keluar sama sekali?) dari
cerita nyatanya. Keliatannya gitu menurut gw. Klimaksnya nggak diramu secara
tajam. Ini kayak lu makan nasi pake tempe tapi nggak pake sambal. Mungkin ini
faktor yang bikin gw nunda-nunda baca, apalagi sebelumnya gw baca novel yang
kuat banget ceritanya.
4. Si penulis, A Fuadi, keliatan
bangga banget dengan pesantrennya. Gw bayangin, dia nulis dengan emosi yang
meletup-letup—dalam pengertian positif. Jadi, siapa pun yang baca novel ini, gw
yakin, bisa ngerasain emosinya. Ya, wajar, sih, pesantrennya keren banget!
5. Dengan asas sotoy marotoy slow
enjoy, gw pikir, novel ini nggak diedit dengan optimal (atau emang sengaja?).
Barangkali bahasa sastra emang beda dengan bahasa konkret dunia sehari-hari
kita, tapi tetep aja pengaruh juga. Contoh, penggunaan konjungsi setara “dan”
atau “sedangkan” yang digunakan di awal kalimat (bahkan ada yang di awal paragraf).
Terus, ada beberapa kata Indonesia yang tidak baku (selain bahasa daerah, lho,
ya!). Gw pikir, sih, seharusnya kata-kata itu diubah jadi kata baku dulu, kali,
yak!
Eh, tapi, tapi, kayaknya novel-novel dari penerbit itu
emang nggak banyak ngubah bahasa asli dari pengarang, deh. Mungkin karena kalo
diubah jadi mengubah maknanya atau apa.
6. Secara keseluruhan, gw setuju
ma komen orang-orang: inspiratif banget! Bikin gw inget Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karangan Tetsuko Kuroyanagi yang
ngomongin pendidikan juga walaupun di sana-sini masih perlu penjembatan.
Oke, selamat, deh, untuk A Fuadi karena telah merasakan
pendidikan yang bagus, manisnya mewujudkan mimpi, hingga melahirkan buku ini! Selalu
semangat! Kamu juga, kawan! Wujudkan mimpimu! Man jadda wa jada! ^^
Aku juga bikin review singkat buku ini di sini : http://www.goodreads.com/review/show/520275988
BalasHapus*toss*
Hapus