Rabu, 16 November 2016

(Ulasan) Peninggalan Benda dan Nonbenda dalam Warisan karya Chairul Harun

         Kesan pertama setelah aku menutup buku Warisan karya Chairul Harun adalah kok bisa aku baru tahu sekarang ya?
  
Halaman depan Warisan karya Chairul Harun


Penyajiannya asyik seperti kau sedang mendengarkan kakekmu bertutur. Kisah dalam Warisan dijalin begitu memikat, tumpat. Novel ini hanya mengambil satu episode ketika Rafilus pulang ke kampung halamannya di Kuraitaji, Sumatra Barat, hingga tugasnya di sana selesai dan ia kembali ke Jakarta. Meski demikian, cerita tak sesederhana itu. Konflik berupa intrik mendapat warisan dikemukakan secara apik oleh penulisnya.   

Rafilus datang dari Jakarta ke Kuraitaji sebagai utusan dari ibu dan adik-adiknya untuk menjemput ayahnya, Bagindo Tahar, yang sakit keras. Ia berencana mengobati ayahnya hingga sembuh di Jakarta. Sayangnya, ayahnya tak menghendaki demikian.         

Ayahnya tak dapat meninggalkan adiknya, Siti Baniar, dan kemenakannya—anak dari Siti Baniar—Sidi Badaruddin yang pula sakit keras. Ketiganya dijadikan satu kamar dengan tiga tempat tidur yang berbeda. Ketiganya digadang-gadang akan meninggal dan banyak orang berharap warisan harta benda atas mereka. Rafilus akhirnya tinggal sementara untuk mengurus mereka.

Selama merawat itulah, Rafilus bertemu dengan berbagai macam manusia di sekitar hidup ayahnya. Mereka yang tulus dan mereka yang datang dengan mengada-adakan hubungan darah, berharap mendapat bagian warisan bila Bagindo Tahar wafat.

Mulanya kupikir aku akan dapat menemukan budaya Minang yang kental agama. Nyata dalam novel itu disajikan sisi lain wajah Minang. Rafilus yang berpendidikan, tinggi-tampan, dan calon pewaris Bagindo Tahar bukan tokoh sempurna. Ia dapat diandalkan untuk mengurusi keluarga besarnya—dan memang bisa memimpin. Namun, tetap saja ia lelaki yang dapat sewaktu-waktu memuaskan berahi tanpa harus menikahi terlebih dulu. Upik Denok, Arneti, Maimunah, dan Farida merupakan perempuan-perempuan yang ditidurinya.

Entahlah, aku jadi bertanya-tanya, apa novel ini mendekonstruksi atau hanya memaparkan kenyataan?

Rafilus yang orang kota dan sudah memiliki harta yang cukup itu tidak memerlukan uang lagi dari ayahnya. Namun, ia sejak SMP tidak salat dan hanya salat ketika ayahnya meninggal. Dalam mataku, orang Minang itu taat salat. Ini tentu tidak sesuai dengan pikiranku.

Hal lain yang membuat aku heran, misalnya pandangan tentang hubungan perempuan dan laki-laki. Melalui Ajo Pekok, Mamak kandung Farida, tampak budaya macam ini:
"Ada yang tidak kauketahui tentang negerimu ini. Seorang perempuan cantik seperti kemenakanku baru merasa malu kalau selama hidupnya hanya kawin dengan seorang laki-laki. Kalau seorang laki-laki ingin punya beberapa orang istri, maka perempuan juga ingin punya beberapa orang suami. Bedanya, perempuan tidak bisa sekaligus.” (hal. 91)

Aku lantas teringat ada salah seorang yang masih berikatan keluarga di Riau yang heran ketika tahu ibuku hanya menikah dengan bapakku.

Rasa tidak habis pikir itu dijawab di paragraf berikutnya:

… Di atas permukaan, dalam kehidupan masyarakat, semuanya tampak demikian ketat, demikian fanatik dengan nilai-nilai adat serta kesusilaan. Tetapi jauh di bawah mengalir dengan deras arus kebebasan untuk menikmati kehidupan duniawi. (hal. 92)

Oke. Itu bukan fokus novel ini sebetulnya. Aku tertarik saja menemukan fakta begitu. Fokus novel, sebagaimana judulnya, adalah warisan. Seorang bangsawan akan meninggal. Sudah pasti hartanya banyak. Begitu kan?

Sayangnya, tiap orang harus menghadapi pengertian lain terhadap simbol warisan ini. Warisan, bagi Bagindo Tahar, adalah:
 "… Semua mereka beranggapan yang dinamakan warisan adalah harta benda,  sedangkan aku berpendapat warisanku adalah darah perangai serta semangatku.  Seluruh anakku telah menerimanya. Tetapi masih ada anak-anakku yang      beranggapan belum menerima warisanku. Tentu mereka mengharapkan harta.    Kauberikan pada mereka.” (hal. 106—107)

Menarik.

Membaca novel ini, tampak penulis piawai mengikat konflik satu dengan yang lain. Mulanya mengingatkan aku pada Ledakan Dendam-nya Agatha Christie yang membahas keserakahan manusia hingga terjadi beberapa pembunuhan. Cuma ya… latarnya Mesir. Sementara itu, Warisan berlatar Sumatra Barat--dan nggak ada pembunuhan.

Selama membaca novel ini, kuharap kau tidak jauh dari KBBI. Pasalnya, bahasa yang penulis gunakan banyak arkais. Perbedaan masa memang tak bisa dibohongi, ya? Kau harus sezaman untuk dapat memahami perbendaharaan kata. Selain itu, aku yang Jawa tidak dapat mengerti benar beberapa hal semisal sistem kekerabatan di Sumatra Barat. Aku cenderung mengabaikan hal ini dan tetap melanjutkan baca. Ya memang, penulis sudah berbaik hati membuatkan keterangan di akhir buku, tapi tetap saja kau harus duduk di depanku lalu jelaskan kepadaku, baru aku ngerti. Hahahaha.
  
Keterangan yang diberikan penulis di akhir buku
Identitas buku:
Judul: Warisan
Penulis: Chairul Harun
Penerbit: Pustaka Jaya
Kota, tahun terbit: Jakarta, 2002 (cetakan kedua)

  

1 komentar:

  1. 1. Ada kok orang Sumbar yang tidak taat. Contohnya kalangan parewa (preman).
    2. Kosa kata yang "arkais" itu sebagian mungkin kosa kata khas Minangkabau, yang di Jawa kurang dikenal.

    BalasHapus