Syukur.
Yang
kebayang pas denger, eh, baca kata syukur adalah obrolan (kalo pake kata “diskusi”
kayaknya berat; em, meski topik besarnya emang berat, sik..) bareng BarikatulHikmah di Kedai Lentera hari Minggu lalu. Kala itu, sambil menanti peserta
Malam Puisi Jakarta yang lain yang belum datang, kami membahas mulai dari
karya-karya Gus Mus hingga pengalaman Ika—sapaan akrab Barikatul
Hikmah—berpuasa di negeri orang.
Sebelum
pertemuan malam itu, aku sudah membaca tulisan Ika di sini. Perasaan yang
kemudian muncul setelah membaca tulisan itu adalah rasa syukur. Bener, deh! Aku
merasa enak betul kita puasa di negeri sendiri yang kultur dominannya Islam.
Mana
pernah sebelumnya aku bayangin susahnya sahur?
Mana
pernah sebelumnya aku khawatir ada babi dalam makananku atau nggak?
Mana
pernah sebelumnya aku bayangkan di luar sana ada yang terpaksa shalat di dalam
toilet?
Mana
pernah sebelumnya aku bayangin harus dipinggirin di bandara, dipisah dari
penumpang lain, dan jadi tontonan orang sebandara gara-gara bawa gunting
gerigi—berjilbab pula?
Mana
pernah sebelumnya aku bayangin ada muallaf Amerika yang datang ke Indonesia mempertanyakan
tukang ojek—yang notabene bukan muhrim—dan “astaghfirullah”-nya perempuan ber-tank top + rok mini di angkot?
Mana
pernah sebelumnya aku bayangin aku dalam keadaan haus setelah makan sahur dan
perlu minum, tetapi minumanku raib, yang hanya ada bir?
Mana
pernah sebelumnya aku… ah, ya, jelas tidak pernah sebelumnya kebayang.
Sepertinya rasa syukur itu selalu butuh pembanding. Tidak datang dengan sendirinya. Itu yang aku rasain :)
BalasHapusah, setuju banget, Vi.. hahaha..
Hapuskalo nggak ada pembandingnya suka ngerasa nggak bersyukur. manusia.
Tulisan ini "cocok" banget ama beberapa tulisan di blog aku tempo hari. Heu. Tapi, bener banget poinnya Evi harus dibandingkan dengan yang biar tahu betapa kita seharusnya bersyukur dengan keadaan kita, apa pun itu.
BalasHapus*lagi bijak*
setujuuuu..
Hapus