Sabtu, 06 Juli 2013

Seni Menanti

          “Aku nggak ngerti, deh!” Kukuh berkata sambil mematikan mesin mobilnya. “Hobi banget antre buku gratis.”
          “Aduh, Sayang, itulah seninya menanti,” jawabku ke arahnya.
          “Apanya yang seru dari menanti?”
         “Hahaha…,” tawaku berderai. Aku sudah tahu ia akan protes-protes macam begini. “Kamu, sebagai pihak yang dinanti, tentu nggak ngerti keindahan menanti.”
          “Hei, kamu lagi nyindir aku, ya?”
        “Ih, ge-er. Aku cuma ngomong, kamu aja yang ngerasa tersindir.” Aku turun dari mobil lalu menutup pintunya.
          Belum puas, Kukuh menjejeri langkahku dan berkata, “Kamu kan tahu risikonya, Si… .”
       Aku memotong cepat, “Bolak-balik Jakarta – Bremen, jalanin perusahaan keluarga sambil kuliah. Ya, kurasa aku tahu itu.”
          “Nah… .”
          “Tadi kan yang aku omongin antre buku gratis… .”
          “…dan kamu ngaitin dengan aku, Si.”
          “Kan aku bilang kamu kegeeran.”
          “Tapi emang gitu, kan?”
      Bagi orang yang tidak mengenal kami, barangkali sudah berpikir kami sedang bertengkar. Sebenarnya tidak. Beginilah cara kami berkomunikasi. Beginilah ungkapan rindu kami setelah berbulan-bulan tidak berjumpa.   
          “Duhai, Kukuh-kukuh yang lucu… .”
          “…itu kupu-kupu!”
          Aku mengabaikan protesnya. “Ngantre buku gratis itu seni. Lebih puas ketika kita berhasil mendapatkan buku itu setelah menanti.”
          “Kamu kan bisa tinggal beli aja.”
          “Iya, tapi kan nggak seru… ,” aku merajuk.
          “Kamu aneh, ih!”
          “Makanya kamu suka. Hahahaha… .”
         Sebuah sentuhan ringan mendarat di kepalaku. Dia tersenyum lalu katanya, “Tapi nanti aku nggak… .”
          “…antre. Iya. Terserah. Kamu boleh, deh, keliling-keliling sana.”
          Sementara mengobrol, kami hampir tidak menyadari kami hampir sampai. Sebuah toko buku gabungan dua atau tiga ruko dengan warna dominan merah menyambut kami. 
      Tumpukan buku begitu menggiurkan. Aku sering mengkhayal bisa memiliki perpustakaan dan toko buku sendiri. Pasti menyenangkan.
          “Aku pikir kamu bakal jadi orang yang antre di urutan pertama,” ujar Kukuh. Matanya mengarah ke satu titik lalu melanjutkan katanya, “ternyata udah ada yang antre. Padahal baru jam setengah 11.” Ia mengecek jam tangannya.
      “Ini Rectoverso, Kukuh. Rectoverso!” seruku. “Siapa yang nggak kepengen buku gretong? Rectoverso pula!”
          “Ya, tapi kan dibagiinnya masih nanti jam 1.”
         “Pasti banyak banget, nih, yang antre. Aku langsung antre aja, ah!” Aku mempercepat langkah menuju tempat antre.
          “Kalau buku aja, semangat banget!” gumam Kukuh.
       “Hei, aku denger, lho!” sahutku, berbalik sekilas ke hadapannya lalu berjalan lagi memunggunginya. “Sana kalau mau ke bagian otomotif atau apa.”
          “Aku jauh-jauh dari Jerman cuma untuk ditinggal,” gumamnya lagi.

          Aku hanya tersenyum kecil sambil terus berjalan menuju antrean. 
couple_love_by_morinc-d3j1stp
gambar diambil dari sini

(Tulisan ini diikutsertakan dalam #ProyekCinta @BintangBerkisah)

8 komentar:

  1. Balasan
    1. nggak papah.. lama-lama juga ngerti..
      lama-lama. :))

      Hapus
  2. kalo antri berdua dengan orang terkasih sich pasti enjoy aja, :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. tapi kita juga nggak bisa maksa kalau orang terkasih kita nggak mau, lho.. :-)

      Hapus
  3. Kata mas Puthut EA, menunggu itu adalah bagian dari pertemuan itu sendiri. Jadi kalo nunggu 5 jam, ketemunya 1 jam, berarti pertemuan itu berlangsungnya 6 jam. hehe...
    Tapi kalo yg ditunggu itu buku gratis, saya juga mau. haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, pendapatnya keren.
      pandangan lain. haha..

      dapet buku gratis emang menyenangkan! :))

      Hapus
  4. Ngantri buku gratis itu sama dengan ngatri tiket bioskop gratis :D

    BalasHapus