Visualisasi
13 harapan/cita-cita seolah sudah dalam genggaman
1. Punya “Roema Matari”
Tok-tok-tok.
Suamiku baru saja selesai mematok plang “Roema Matari” di depan gerbang. Itu
nama rumah kami. Dengan bahagia yang meluap-luap kusisir rumah dengan mataku:
rumah utama berbahan kayu, lapangan bola (aku tak menginginkan generasi
setelahku mengetahui sepak bola hanya dari game),
panggung teater, masjid, museum pribadi, kolam renang, dan taman labirin (oh,
semoga aku sendiri tidak tersesat). Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih,
terima kasih… .
2. Punya museum pribadi
Ternyata
bukan cuma aku yang memiliki kenangan terhadap barang-barang pribadiku.
Pengunjung museumku pun merasa punya ingatan masa lalu tentang barang pribadi
mereka. Saat melihat bantal-guling masa bayiku, misalnya, mengingatkan mereka
dengan bantal-guling mereka sewaktu bayi dan mulai mengingat-ingat bagaimana
nasib keduanya. Sungguh aku merasa bahagia bisa mengingatkan sejarah hidup
mereka—apalagi jika mereka selalu pandai mensyukuri segala hal dalam hidup
mereka. Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .
3. Kegiatan di masjidku
Anak-anak
yang duduk di depanku ini sebelumnya belum pernah kulihat. Entah mereka datang
dari mana. Aku senang mereka bisa datang
ke kelas “menulis cerita”-ku. Ya, sudah kujadwallkan: ada kelas menulis cerita,
tari nusantara dan dunia, mendongeng, musik nusantara dan dunia, cooking class untuk para ibu, membuat
kerajinan untuk para lansia, dan seterusnya. Alhamdulillah, terima kasih,
terima kasih, terima kasih… .
4. Punya sekolah “Roema Matari”
Mereka,
murid-muridku, sangat bergembira saat kuberikan krayon warna-warni kepada
mereka dan memperolehkan mereka menggambar apa pun di lantai kayu kelasku.
Selanjutnya, saat kelas selesai kubilang pada mereka harus menghapus kembali
coretan mereka, mulanya mereka cemberut dan kesal. Namun, sejak itu, obsesi
mereka mencoret-coret tembok dan fasilitas umum pun punah. Mereka sudah tahu
bahwa keinginan mencoret-coret selaras dengan konsekuensi sulitnya menghapus
coretan. Selain kelas menggambar, di sekolahku ini juga ada makan siang bersama
yang diawali dengan pidato (1 hari 1 anak), siswa berpakaian jelek (tanpa
seragam), belajar di “ruang kelas” yang sesuai (kebun untuk belajar tumbuhan,
misalnya), belajar dari bidang yang mereka minati, kelas musik yang membuat
mereka bergerak sesuai dengan keinginan hati, dan sebagainya. Orang-orang
menyebut sekolahku sebagai sekolah Totto-chan karena menurut mereka jelas aku
jatuh cinta pada sekolah yang dipimpin Sosaku Kobayashi itu. Alhamdulillah,
terima kasih, terima kasih, terima kasih… .
5. Belajar ke Leiden
Aku
berfoto di depan bangunan bertuliskan University
of Leiden. Ini minggu terakhir aku belajar di sini. Minggu depan aku sudah
harus balik ke Indonesia. Selama di Leiden aku teryakini bahwa sekitar 26.000
naskah kuno Indonesia di sini dirawat dengan baik. Tapi ya itu… saking
dirawatnya, aku yang orang Indonesia ini saja tidak diperbolehkan melihat
langsung (apalagi menyentuh) naskah kuno Indonesia itu. Menurutku, ini seperti
meminjam gelas sendiri di rumah tetangga. Oh, ya, di sini aku bertemu dengan
profesor asal Indonesia. Ia mengajar aksara Batak, Jawa Kuno, dan Bugis. Ilmuku
bertambah. Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .
6. Membeli naskah-naskah kuno
Indonesia
Syukurlah.
Sekitar 1000 naskah kuno di Leiden berhasil kubeli. Kuingat-ingat sederet
panjang syarat pembelian dan surat kesanggupan perawatan surat-surat kuno
tersebut. Untungnya, aku dibantu banyak orang yang sevisi denganku dan mereka
mau membantu merawat naskah-naskah kuno tersebut. Para mahasiswa pun
berlomba-lomba mempelajari naskah-naskah itu. Mereka terpacu untuk mempelajari
warisan nenek moyang dalam naskah-naskah itu dan tidak rela ilmu itu jatuh
kepada yang justru bukan orang Indonesia. Oh, ya, aku juga membeli berbagai
naskah, foto, dan uang kuno Indonesia yang dijual di internet. Aku sekarang
sedang mengincar naskah yang disimpan di London—dengan naskah-naskah di Leiden
tetap yang utama. Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .
7. Pergi haji bersama keluarga
Aku sedang
asyik tawar-menawar harga dengan pedagang Arab yang bisa bahasa Indonesia ini.
Kami—aku, suamiku, orang tuaku, dan adikku—sedang berbelanja untuk kerabat di
Indonesia. Mereka pasti sangat senang mendapat oleh-oleh haji ini. Tentu bagiku
ini tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebahagiaanku bisa memenuhi rukun
Islam yang kelima: haji. Semoga makin banyak orang yang diberi kesempatan
berhaji. Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .
8. Mengembangkan warung Bapak
Sudah
tahun ketiga sejak aku mendirikan warung ini. Rencananya bulan depan aku mau
membuka cabang kelima di Riau—dekat bandara. Alhamdulillah, terima kasih,
terima kasih, terima kasih… .
9. Nonton Mak Yong
Meskipun bulan
lalu aku sudah melihat di Sidney, tetap saja menonton Mak Yong di tanah leluhurnya, Riau, lebih asyik—dekat rumah nenek
pula jadi aku bisa sekalian mengunjungi rumah nenek. Setelah Mak Yong, aku akan menonton La Galigo,
blantenan, ikut dugderan, sekaten, dan budaya Indonesia yang lain.
Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .
10. Menjadi penulis terkenal yang
produktif
Setelah
melahirkan 85 buku dengan berbagai genre, kini aku dipercaya untuk melakukan salah
satu hal yang sangat menyenangkan: menulis kartu. Ha! Kata-kataku akan
berhamburan di kartu ucapanmu, kartu posmu, pembatas bukumu, dan di kepalamu.
Oh, tentu Tuhanku sangat baik, mau mempercayakan aksara-aksara itu menetes dari
benakku. Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih, terima kasih… .
11. Punya taman bacaan dan toko buku
Acara di
taman bacaanku hari ini adalah tawuran
aksara: adu pantun antarsiswa SMA. Mungkin bila melihat taman bacaanku kau
akan teringat “Rumah Dunia”-nya Gola Gong. Em, kira-kira berkonsep serupa.
Kubuat taman bacaanku tak hanya untuk mereka yang mau membaca, tapi berbagai
kegiatan kuadakan di sini: dari adu pantun, pementasan, hingga nonton bareng
ala layar tancap. Aku jual kacang rebus, lho! Hehehe… . Di tengah-tengah taman
ada dua bus tingkat model jadul. Itu toko bukuku! Alhamdulillah, terima kasih,
terima kasih, terima kasih… .
12. Berkendara dengan sepeda
Turun dari
sepeda aku masuk rumah. Lamat-lamat kudengar berita menyiarkan kemacetan
melanda Malaysia. Aku seperti ingat kata itu: kemacetan. Ah, ya, macet, saat
semua kendaraan tumpah ruah di jalan. Itu masa lalu kelam Indonesia, terutama
Jakarta. Kini tiap orang di Jakarta berkendara dengan sepeda: sepeda lipat,
sepeda gulung, sepeda terbang. Jika kauhendak bepergian dengan beberapa orang,
kau bisa gunakan bebek-bebekan terbang. Udara bersih, badan sehat, umur efektif
(tua di rumah, bukan di jalan). Alhamdulillah, terima kasih, terima kasih,
terima kasih… .
13. Berbahagia bersama pangeranku dan
pangeran-putri kami
Badanku
menggendut untuk yang kelima kalinya. Kami menghormati rukun Islam, menganut
asas balonku, dan mengamalkan pancasila. Suka dengan angka lima. Hehehe… .
Pangeran-putri cilikku berlomba-lomba mencari perhatian ayahnya yang sedang
sibuk bercakap-cakap dengan calon anggota baru keluarga yang masih di perut.
Cara mereka mencari perhatian bermacam-macam, yaitu: ada yang menunjuk-nunjuk
matahari yang mulai rebah, ada yang memamerkan istana pasir buatannya, ada yang
mengajaknya bermain ombak, ada juga yang meminta pendapat untuk nama pantai
temuan kami ini. Ah, kutatap langit dan kugumamkan, “Semoga tiap orang tidur
dalam keadaan bahagia malam ini—seperti kami.” Sepertinya suamiku mendengar
karena ia menyahut, “Ya, bahagia malam ini, malam besok, besoknya lagi,
besoknya besok, dan seterusnya. Aamiiin… .” Alhamdulillah, terima kasih, terima
kasih, terima kasih… .
Alhamdulillah,
terima kasih, terima kasih, terima kasih… .
Alhamdulillah, alhamdulillah.. all praises to Allah, all praises to Allah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar