Kamis, 15 Maret 2012

KITA~


“Barangkali aku memang waktu luangmu, Fulgoso!” Aku langsung menghunuskan kata-kata yang baru diasah. “Aku adalah maya! Kamu tahu apa tentang aku? Tidak secuil pun kecuali yang kuizinkan kaulihat di layarmu.”
Kamu terdiam.
Tetap menatap aku.
Setelah yakin kamu tidak akan berkata-kata, aku melanjutkan dengan lirih, “Ya, aku tahu kamu hidup di dunia ini, tetapi lihat tak kauizinkan duniamu nyata di hidupku*, Fulgoso.”
Kamu memicingkan mata.
Tak peduli, kuteruskan kata-kataku, “’KITA’ adalah kata yang berlaku di sini: bagaimana ‘KITA’ dimainkan dengan begitu indah tanpa harus dipadu dengan kesenduan biola atau apa. Di tangan ‘KITA’ kata-kata menjadi penyampai rasa… .”
Kau tampak akan menyela bicaraku.
Dengan tak sabar, kupotong usahamu, “Ya, ya… Aku tahu. Aku yang menggunakan kata-kata itu untuk menusuk, tetapi apa boleh buat. Itu karena… em… yah… apa itu istilahnya? ‘akumulasi perasaan-perasaan tak terdeteksi yang tiba-tiba muncul dari dalam bumi layaknya sebuah candi’. Fulgoso, aku, ah… sepertinya aku akan melahirkan anak haram lagi dari lidahku ini.”
Dengan gerakan yang sudah dihafal, kamu memainkan tetikus di tangan kirimu.
Aku bayangkan, kata pertamamu adalah, “Hipokrit.”
Jika kamu betul bilang begitu, aku jawab, “Cermin.”
Kausahuti lagi, “Tidak prinsipil.”
“Yang prinsipil adalah menjalankan keputusan.”
Ketika aku bicara begitu, kamu ambil puisi Sapardi. Kaubacakan keras-keras dengan puas, “Aku dan matahari tidak bertengkar siapa yang menjadi bayang-bayang.”
Menurutmu, aku adalah bayang-bayangmu. Lalu aku justru mendapati diriku berlumuran darah dengan pisau menancap di jantungku.
Melihat begitu, jarimu menari di atas keyboard :
“Perempuan gila yang tidak kukenal mati mengenaskan di depanku.”
Kamu tahu, bahkan ketika kamu menuliskan itu, kamu membuktikan bahwa kamu sangat mengenalku, Fulgoso… .

(26 Oktober 2011) 
*percakapan dua layar Zarry Hendrik dengan Rahne Putri




Tidak ada komentar:

Posting Komentar