“Barangkali
aku memang waktu luangmu, Fulgoso!” Aku langsung menghunuskan kata-kata yang
baru diasah. “Aku adalah maya! Kamu tahu apa tentang aku? Tidak secuil pun
kecuali yang kuizinkan kaulihat di layarmu.”
Kamu
terdiam.
Tetap
menatap aku.
Setelah
yakin kamu tidak akan berkata-kata, aku melanjutkan dengan lirih, “Ya, aku tahu
kamu hidup di dunia ini, tetapi lihat tak kauizinkan duniamu nyata di hidupku*,
Fulgoso.”
Kamu
memicingkan mata.
Tak
peduli, kuteruskan kata-kataku, “’KITA’ adalah kata yang berlaku di sini:
bagaimana ‘KITA’ dimainkan dengan begitu indah tanpa harus dipadu dengan
kesenduan biola atau apa. Di tangan ‘KITA’ kata-kata menjadi penyampai rasa… .”
Kau
tampak akan menyela bicaraku.
Dengan
tak sabar, kupotong usahamu, “Ya, ya… Aku tahu. Aku yang menggunakan kata-kata
itu untuk menusuk, tetapi apa boleh buat. Itu karena… em… yah… apa itu
istilahnya? ‘akumulasi perasaan-perasaan tak terdeteksi yang tiba-tiba muncul
dari dalam bumi layaknya sebuah candi’. Fulgoso, aku, ah… sepertinya aku akan
melahirkan anak haram lagi dari lidahku ini.”
Dengan
gerakan yang sudah dihafal, kamu memainkan tetikus di tangan kirimu.
Aku
bayangkan, kata pertamamu adalah, “Hipokrit.”
Jika
kamu betul bilang begitu, aku jawab, “Cermin.”
Kausahuti
lagi, “Tidak prinsipil.”
“Yang
prinsipil adalah menjalankan keputusan.”
Ketika
aku bicara begitu, kamu ambil puisi Sapardi. Kaubacakan keras-keras dengan
puas, “Aku dan matahari tidak bertengkar siapa yang menjadi bayang-bayang.”
Menurutmu,
aku adalah bayang-bayangmu. Lalu aku justru mendapati diriku berlumuran darah
dengan pisau menancap di jantungku.
Melihat
begitu, jarimu menari di atas keyboard :
“Perempuan
gila yang tidak kukenal mati mengenaskan di depanku.”
Kamu
tahu, bahkan ketika kamu menuliskan itu, kamu membuktikan bahwa kamu sangat
mengenalku, Fulgoso… .
(26
Oktober 2011)
*percakapan
dua layar Zarry Hendrik dengan Rahne Putri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar