Rabu, 05 November 2014

Bayu Kentut

          Biasanya dia sering kentut. Makanya dijuluki “Bayu Kentut”. Irama kentutnya seperti dering bel sepeda dan aromanya seperti roti panggang. Orang-orang tiada yang keberatan menghidu aroma kentutnya.
          “Mengapa kentutmu beraroma roti panggang dan berbunyi seperti dering bel sepeda sedangkan kentut orang lain berbau telur busuk dan berirama seperti baju robek?” tanyaku suatu kali.
          “Aku tidak tahu, tetapi ibuku punya teori.”
          “Apa itu?”
          “Menurutnya, kentut adalah sebuah bentuk ekspresi. Kelegaan. Kelegaan karena sebelumnya orang tersebut memendam sesuatu. Nah, orang yang kentutnya berbau busuk, menurut ibuku, mereka sebelumnya memendam hal yang tidak baik.”
          “Oh, ya?”
          “Entahlah.”
          Pikiranku berjalan sendiri. Aku mengingat-ingat saat dia kentut. Tidak ada kesamaan waktu kejadian kentutnya. Dia sering kentut kala pelajaran berlangsung, pernah juga ketika istirahat, bahkan pernah di perpustakaan yang sunyi itu. Suara “kring” terdengar dari pantatnya. Satu sekolah tahu irama dan aroma kentutnya.
          Tidak ada kesamaan waktu kentutnya. Namun, aku memiliki teori yang menarik. Mulanya aku pikir aku hanya kegeeran. Setelah beberapa kali membuktikannya, aku yakin teoriku benar: ia pasti akan kentut tiap kali ia berhasil menyatakan rindunya kepadaku.
          Ah, tetapi itu dulu. Sekarang aku bertemu dengannya di reuni ini. Perutnya membuncit seperti perempuan yang hamil sembilan bulan. Menurut dugaan teman-temanku yang dokter, barangkali ia terkena sirosis dan mesti transplantasi liver.
          Mendengar itu, ia hanya tersenyum lemah sambil menggenggam tangan perempuannya. Kami tidak bertukar sapa. Sudah beberapa tahun ini begitu. Namun, aku tahu dan meyakini benar penyebab perutnya menggendut. Kala ia mesti dibedah nanti, mungkin para dokter akan terheran-heran mendapati bahwa isi perutnya adalah namaku—dalam jumlah banyak.

(18 Mei 2014)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar