Senin, 27 Januari 2014

(Bukan) Memorabilia

Lumpuhkanlah ingatanku bila itu tentang dia
Kuingin melupakannya

          Lumpuhkan ingatan?
          Apa kamu benar-benar paham dengan permintaan itu?
          Sebelum kau menyanyikan lagu itu dengan sepenuh hati dan mengamini sepenuh jiwa, coba simak ceritaku ini.
          Waktu itu siang hari masa kuliah. Aku bersama beberapa orang kawan selesai mengerjakan tugas di sebuah rental komputer—yang hampir-hampir menjadi rumah bersama karena seringnya kami ke sana. Letaknya di seberang kampus. Kami mesti melalui jembatan penyeberangan jika hendak kembali ke kampus.
          Kami sedang akan naik ke jembatan penyeberangan saat kulihat di seberang sana ada seorang siswi SMA berseragam putih abu-abu. “Ah, anak SMA,” batinku. Aku lantas mengarahkan otakku menuju masa SMA.
          Sialnya, memori masa SMA-ku kosong!
          Aku bingung sendiri. Bagaimana bisa memori masa SMA-ku kosong? Apa aku tidak pernah SMA? Ah, tapi mana mungkin? Bukankah sebelum kuliah harus SMA dulu?
          Aku menapaki tangga penyeberangan satu per satu sambil berusaha keras mengingat masa SMA. “Oke, mulai dari TK saja,” kataku kepada diriku sendiri. Dengan mudah ingatan masa TK-ku terhampar: aku yang main ayunan, aku yang dapat juara, aku yang takut naik perosotan di sebelah barat TK, dan seterusnya. Aku ingat.
          Berlanjut ke ingatan masa SD: aku yang pernah pindah sekolah, aku yang pernah disetrap, aku yang pernah dijewer karena salah jawab soal, aku yang berantem dengan anak laki-laki di kelasku, aku yang jalan-jalan bersama teman-teman ke Ancol, dan seterusnya. Aku ingat.
          Berikutnya menuju ingatan masa SMP: aku yang MOS, aku yang mulai bikin puisi, aku yang bikin grup sailormoon, aku yang kelasnya di lantai dua, dan seterusnya. Aku ingat.
          Nah, kini beralih ke masa SMA: … .
          Kosong.
          Aku TK di TK Anu, SD di SD Anu, SMP di SMP Anu, lalu SMA di…? Di mana aku SMA?
          Aaaargh. Aku tersiksa dengan ingatan yang hilang ini.
          Habis dari ingatan SMP, aku bisa meloncat ke ingatan kuliah di Universitas Anu. Bisa ingat waktu menjadi mahasiswa baru, ingat segala mata kuliah, ingat teman-teman, ingat dosen-dosen, hingga tugas yang sudah dan belum dikerjakan.
          Apa iya dari SMP aku langsung kuliah?
          Aku colek Indri, temanku, “In, In, dulu gue SMA di mana?” Indri yang selangkah di depanku berbalik dan memberi tatapan keheranan. Tak memedulikan itu, kulanjutkan lagi, “Gue pernah SMA kan, ya, In?”
          Kening Indri makin berkerut.
          “In, tolong gue,” aku mengguncang tangan Indri. “Gue nggak ingat masa SMA gue.”
          Indri malah memberi tatapan “ini-si-ika-gila-kayaknya” lalu “isengnya-keterlaluan”. Aku memang dikenal sebagai orang yang asal ngomong dan suka bercanda. Barangkali ini dianggapnya sebagai bagian dari bercanda.
          Aku merasa bertanya kepada Indri percuma. Aku berusaha mengingat sendiri. Gue SMA di mana? Kenapa gue nggak ingat masa SMA? Itu terus kudengung-dengungkan sampai hampir tiba di seberang.
          Apa ini yang disebut amnesia? Kenapa hanya ingatan masa SMA saja yang hilang? Bagaimana jika kemudian ingatan itu selamanya tak kembali?
          Ngeri aku membayangkannya.
          Aku hampir mencapai anak tangga terakhir yang kuturuni saat akhirnya ingatan SMA-ku kembali: aku berseragam putih abu-abu. Spontan aku teriak, “Indri! Gue ingat! Indri, gue ingat gue SMA di SMA Blablablah! Gue ingat, In, gue ingat! Yeay!”
          Aku girang bukan kepalang. Teman-temanku yang lain hanya menatap heran. Sejak tadi mereka tidak tahu yang terjadi kepadaku. Indri masih dengan ekspresi keheranan. Terserahlah, yang penting aku senang sudah ingat!
          Oh, sayangnya, kesenangan karena bisa mengingat masa SMA tak datang sendiri. Ia membawa serta ingatan yang lain: tentang dia yang kukenal sejak SMA, tentang dia yang tak ingin kuingat, dia yang membuatku tertawa paling bahagia dan menangis paling duka. Terbayang ingatan tempo hari. Ia sedang duduk di bangku teras rumahku dan bilang, “Aku tak bisa membahagiakan kamu, Ika. Kamu ikuti saja kemauan orang tuamu. Dia pasti bisa bikin kamu bahagia. Aku mundur.”

(23 Desember 2013)

          

4 komentar: