Lumpuhkanlah
ingatanku bila itu tentang dia
Kuingin
melupakannya
Lumpuhkan
ingatan?
Apa
kamu benar-benar paham dengan permintaan itu?
Sebelum
kau menyanyikan lagu itu dengan sepenuh hati dan mengamini sepenuh jiwa, coba
simak ceritaku ini.
Waktu
itu siang hari masa kuliah. Aku bersama beberapa orang kawan selesai
mengerjakan tugas di sebuah rental komputer—yang hampir-hampir menjadi rumah
bersama karena seringnya kami ke sana. Letaknya di seberang kampus. Kami mesti
melalui jembatan penyeberangan jika hendak kembali ke kampus.
Kami
sedang akan naik ke jembatan penyeberangan saat kulihat di seberang sana ada
seorang siswi SMA berseragam putih abu-abu. “Ah, anak SMA,” batinku. Aku lantas
mengarahkan otakku menuju masa SMA.
Sialnya,
memori masa SMA-ku kosong!
Aku
bingung sendiri. Bagaimana bisa memori masa SMA-ku kosong? Apa aku tidak pernah
SMA? Ah, tapi mana mungkin? Bukankah sebelum kuliah harus SMA dulu?
Aku
menapaki tangga penyeberangan satu per satu sambil berusaha keras mengingat
masa SMA. “Oke, mulai dari TK saja,” kataku kepada diriku sendiri. Dengan mudah
ingatan masa TK-ku terhampar: aku yang main ayunan, aku yang dapat juara, aku
yang takut naik perosotan di sebelah barat TK, dan seterusnya. Aku ingat.
Berlanjut
ke ingatan masa SD: aku yang pernah pindah sekolah, aku yang pernah disetrap,
aku yang pernah dijewer karena salah jawab soal, aku yang berantem dengan anak laki-laki di kelasku, aku yang jalan-jalan
bersama teman-teman ke Ancol, dan seterusnya. Aku ingat.
Berikutnya
menuju ingatan masa SMP: aku yang MOS, aku yang mulai bikin puisi, aku yang bikin grup sailormoon, aku yang kelasnya di lantai dua, dan seterusnya. Aku
ingat.
Nah,
kini beralih ke masa SMA: … .
Kosong.
Aku
TK di TK Anu, SD di SD Anu, SMP di SMP Anu, lalu SMA di…? Di mana aku SMA?
Aaaargh.
Aku tersiksa dengan ingatan yang hilang ini.
Habis
dari ingatan SMP, aku bisa meloncat ke ingatan kuliah di Universitas Anu. Bisa
ingat waktu menjadi mahasiswa baru, ingat segala mata kuliah, ingat
teman-teman, ingat dosen-dosen, hingga tugas yang sudah dan belum dikerjakan.
Apa
iya dari SMP aku langsung kuliah?
Aku
colek Indri, temanku, “In, In, dulu gue SMA di mana?” Indri yang selangkah di
depanku berbalik dan memberi tatapan keheranan. Tak memedulikan itu,
kulanjutkan lagi, “Gue pernah SMA kan, ya, In?”
Kening
Indri makin berkerut.
“In,
tolong gue,” aku mengguncang tangan Indri. “Gue nggak ingat masa SMA gue.”
Indri
malah memberi tatapan “ini-si-ika-gila-kayaknya” lalu “isengnya-keterlaluan”.
Aku memang dikenal sebagai orang yang asal ngomong dan suka bercanda.
Barangkali ini dianggapnya sebagai bagian dari bercanda.
Aku merasa bertanya kepada Indri
percuma. Aku berusaha mengingat sendiri. Gue
SMA di mana? Kenapa gue nggak ingat masa SMA? Itu terus
kudengung-dengungkan sampai hampir tiba di seberang.
Apa
ini yang disebut amnesia? Kenapa hanya ingatan masa SMA saja yang hilang?
Bagaimana jika kemudian ingatan itu selamanya tak kembali?
Ngeri
aku membayangkannya.
Aku
hampir mencapai anak tangga terakhir yang kuturuni saat akhirnya ingatan SMA-ku
kembali: aku berseragam putih abu-abu. Spontan aku teriak, “Indri! Gue ingat!
Indri, gue ingat gue SMA di SMA Blablablah! Gue ingat, In, gue ingat! Yeay!”
Aku
girang bukan kepalang. Teman-temanku yang lain hanya menatap heran. Sejak tadi
mereka tidak tahu yang terjadi kepadaku. Indri masih dengan ekspresi keheranan.
Terserahlah, yang penting aku senang sudah ingat!
Oh,
sayangnya, kesenangan karena bisa mengingat masa SMA tak datang sendiri. Ia
membawa serta ingatan yang lain: tentang dia yang kukenal sejak SMA, tentang
dia yang tak ingin kuingat, dia yang membuatku tertawa paling bahagia dan
menangis paling duka. Terbayang ingatan tempo hari. Ia sedang duduk di bangku
teras rumahku dan bilang, “Aku tak bisa membahagiakan kamu, Ika. Kamu ikuti
saja kemauan orang tuamu. Dia pasti bisa bikin kamu bahagia. Aku mundur.”
(23 Desember 2013)
cie pas inget SMA, kebawa-bawa kenangan ama mantannyah~ :))))))
BalasHapusCieeeeeeeeeeeeeeehhhhh~ :))))))))))
Hapushmmm....
BalasHapusmmmh....
Hapus