Untuk
pertama kalinya aku merayakan Idul Fitri di kampung, yeeeyyy!
Ahahaha…
. Bersyukur itu mudah, ya! Setelah 14 tahun, akhirnya aku menginjak lagi tanah
orang tuaku: Wonogiri—sekaligus untuk pertama kalinya Ied di kampung. Senang?
Jangan tanya, deh! Norak bahkan. :D
Sebanyak
dua postingan akan bercerita pengalaman mudikku tahun ini. Kepenginnya sih satu
hari satu postingan (aku mudik semingguan), tapi kok ya banyak betul. Jadi, aku
korting deh. Seperti asas KB, dua postingan aja cukup.
Postingan
ini mau aku fokuskan ke perayaan hari raya di sana aja ya. Iya.
Sebagaimana
di Bekasi, ibu-ibu sudah mulai masak-masak sehari sebelum hari raya. Bedanya,
tidak ada budaya membuat ketupat di kampungku. Sebagai gantinya, ada budaya
yang lebih menarik lagi. Namanya genduri
(sebenarnya kupikir “kenduri”; aku menuliskan genduri sesuai pelafalan ibuku).
Para
perempuan akan masak di rumah, membuat banyak besek. Para laki-laki dari tiap
rumah akan berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain. Lelaki yang
berkunjung tersebut akan pulang membawa besek yang sudah disiapkan tuan rumah.
Besek ini berisi nasi dan lauk-pauk (misalnya telur rebus, orak-arik tempe,
sambal goreng ati, kerupuk; variatif sih). Seru ya? Iya.
Oh
ya, genduri ini dilangsungkan sore
hari pada puasa terakhir.
Selepas
berbuka, orang-orang di kampungku akan berkumpul di masjid untuk takbiran.
Tidak hanya kaum lelaki, tetapi juga kaum perempuan (kan mereka sudah selesai
masak). Beberapa anak muda membuat kelompok-kelompok kecil bertakbir keliling
kampung dengan membawa obor.
Di
kampungku, lampu hanya ada di rumah-rumah penduduk. Lampu jalan pun hanya
dipasang di daerah pemukiman. Nah, kalau kamu melintas area persawahan, tentu
saja tidak ada penerangan. Itu sebab mereka berkeliling membawa obor (ke warung
saja aku bawa senter kok).
Unsur
seru dari minimnya penerangan di kampungku ya itu: bisa main senter dan lihat
bintang dengan jelas sekali!
Di
malam takbiran orang-orang di kampungku bertakbir hingga larut malam. Dalam keadaan
biasa (bukan Lebaran gitu) lepas isya aja kebanyakan orang sudah tidur pulas.
Pagi
di hari raya, orang-orang di kampungku sejak pagi sudah di masjid. Setengah
tujuh lapangan atau masjid sudah penuh. Aku dan keluargaku sudah tidak kebagian
di dalam masjid. Kami salat di pelataran rumah penduduk. Jangan kaubayangkan
pelatarannya tanah rata macam di sini. Di sana itu pelataran rumah penduduk
kalau nggak tanah ya batu-batuan. “Kita kayak di-massage, Mbak,” begitu lelucon adikku saat pantatnya mencapai
batu-batu itu. Hahaha, sakit-sakit asyik sih.
Selesai
salat, orang-orang langsung bersalaman (masih di area masjid). Mereka
bersalaman sampai benar-benar sudah semua orang disalami, kurasa. Selepas itu,
kampungku sepi karena orang-orang asyik dengan kegiatannya masing-masing. Aku
bingung. Tidak ada saling mengunjungi antartetangga sebagaimana kami di Bekasi.
Aku bertanya kepada ibuku tentang hal ini. Katanya, biasanya ada banyak orang
yang mengunjungi rumah kami. Mungkin karena rumah utama penuh (mendadak empat
keluarga kumpul), orang-orang sungkan mampir ke rumah kami atau memang ada
kumpul keluarga juga di rumah mereka dan merasa sudah bersalaman di masjid tadi.
Hari
pertama Lebaran kami berkunjung ke rumah Mbah Kakung dan beberapa kakak ibuku.
Sepanjang jalan aku asyik memperhatikan suasana. Jalanan di sana jauh dari
ramai meski hari raya. Beberapa memang tampak hilir mudik, tapi tak banyak. Apa
ini karena aku membandingkan dengan Bekasi yang mendadak padhet ndhedhet pas Lebaran ya? Jauh bangetlah suasana ramainya.
Yang
ramai pada hari pertama Lebaran adalah masjid. Ya, orang-orang
berbondong-bondong kembali ke masjid pada siang harinya (bahkan ada yang sejak
salat Ied tetap di masjid) untuk halalbihalal.
Di
sana ada juga budaya fitrah ke lurah
setempat ketika hari raya. Mulanya aku bingung. Fitrah? Di hari raya? Ke lurah?
Bukan ke mustahik? Aku mengasosiasikannya dengan zakat.
Ternyata
bukan. Fitrah yang dimaksud ini
semacam silaturahmi ke tokoh-tokoh yang dihormati di daerah itu. Kalau di
Bekasi sini kayak ke ulama, gitu.
Hari
kedua Lebaran di kampungku tak kalah seru. Ada melancong. Acara melancong hanya
ada ketika hari kedua hari raya. Pusatnya di lapangan dekat balai desa. Hiburan
yang disuguhkan berupa reog dan campur sari.
Jajanan?
Jangan tanya. Banyak banget! Ada pecel, es dawet, mie ayam, baso, dan
kawan-kawan.
Terus,
terus, yang bikin aku norak apa? Di sana ada Thomas gujes-gujes! Ehm, itu lho,
odong-odong yang bentuknya kereta. Aku udah lama banget kepengin naik itu!
Sayang, kalau di Bekasi sini (Jakarta juga) Thomas gujes-gujes dimonopoli anak
kecil dan ibu-ibu yang bawa anak. Padahal kan aku kepengin naik jugaaa… . Masa
iya aku pinjam anak siapa dulu gitu biar bisa naik?
Nah,
kurasa Allah sangat baik kepadaku dan memberi kesempatan aku naik Thomas
gujes-gujes di kampung. Tanpa aku mesti minjam anak orang! Hahaha. Bak Miss
Universe aku dadah-dadah ke ibuku dari dalam Thomas gujes-gujes.
Ehm.
Begitulah,
pembaca yang budiman. Kisahku merayakan hari raya di kampung. Sisanya aku
ceritakan via foto-foto di postingan berikutnya saja ya! Dadah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar