10 hikmah dari emmm.. saat roda di bawah:
Ini dia hal-hal baik dari hal buruk yang aku alami:
1. Pererat hubungan keluarga
Syukurlah hubungan emosi keluarga kami semakin erat sejak roda kami berada di bawah. Tadinya mah hubungan keluarga bagiku hanya formalitas: aku punya ayah, ibu, adik. Itu saja.
2. Bertemu dengan malaikat-malaikat
Dari kejadian berat yang kita alami, kita pasti akan mengetahui orang-orang yang peduli permanen dan orang yang peduli nisbi. Tentu kita harus bersyukur Allah masih sayang kepada kita dengan mengirimkan mereka kepada kita. Semoga Allah membalas kebaikan mereka.
3. Pengalaman kerja
Yap. Kalau roda tidak di bawah, aku si anak manja yang manajemen waktunya berantakan ini belum akan kerja sebelum lulus. Jika aku tidak kerja, belum tentu aku akan bertemu dengan malaikat-malaikat lain di tempat kerjaku dan bisa berbagi pengalaman hidup mereka--yang beberapa nggak lebih ringan dari pengalamanku.
4. Lebih memerhatikan sekitar
Rasanya aku lebih melek. Dalam banyak arti.
5. Ngerti berbagai kenikmatan
Kalau sebelumnya makan bisa tidak dihabiskan tanpa berpikir apa-apa, sekarang pasti menyesal jika tidak habis. Syukurlah sekarang bisa mengerti nikmatnya makan nasi, mie instan, ikan, ayam, dst. Dan mengertilah, Marisol, makanan itu akan menangis jika tidak kamu habiskan. Oh, ya, kenikmatan itu banyak, lho, ya, cuma aku ngasih contohnya di sini makanan. Kan lagi puasa (loh?)
6. Diingatkan untuk tidak sombong
Tiap orang punya bakat sombong, termasuk aku. Kalau lagi susah, apa yang bisa disombongin? Meski begitu, lagi "ada" bukan berarti bisa sombong juga. Emang "kepunyaan" kita punya kita? Diri kita aja bukan punya kita. Diri kita milik Tuhan. Jadi, apa yang mau disombongin?
7. Lebih sehat
Hahahaha.. aku jadi lebih sehat. Sering jalan kaki, sih! Mengurangi risiko osteoporosis. Hidup sehat!
8. Merasa lebih kuat
Kurasa, siapa pun tidak akan bisa merasakan nikmatnya bangkit kalau dia tidak pernah terjatuh. Rasanya senyum lepas aja jadi sebuah anugerah. Betapa pukpuk itu jadi berarti banget. Yang harus kuyakini kini adalah tiap orang itu kuat. Masalah besar hanya untuk jiwa yang besar. Semangat! Merdeka! Serang! Terjang! (halah!)
9. Memaafkan
Memaafkan. Tidak menyalahkan siapa pun. Hal yang terjadi adalah proses pengembangan diri. Itu saja.
10. Ikhlas
Kita nggak bisa jalanin hidup dengan tenang, kita akan selalu komplein, kalau kita nggak ikhlas. Tapi selama kita ikhlas, aku ngerasa hidupku lebih ringan, punggungku tegak, pundakku tidak merosot, dan langkahku mantap. Innallaha ma'ana (Allah bersama kita).
Dengan adanya masalah, hidup jadi lebih seru. Kalau kata Lenka the sun is hot in the sky just like a giant spotlight. Just enjoy the show. Nikmatin aja hidup.
Alhamdulillah. Terima kasih, terima kasih, terima kasih..
Jumat, 27 Juli 2012
Kamis, 26 Juli 2012
Di mana kita 25 Juli tahun depan?
Awalnya, sih, gara-gara pertanyaannya Mb Weye, "Di mana kita tanggal 25 Juli tahun depan? Jangan-jangan ini 25 Juli terakhir kita? (dengan emot sedih 3 kali)".Iya, ya, di mana kita 25 Juli tahun depan? Apakah kita masih bersama dengan orang yang kita cintai, yang jodohnya tidak kita inginkan berakhir?
Nah, karena pada dasarnya gw nggak pengen jodoh gw berakhir lekas-lekas (terutama dengan orang-orang terdekat) dan gw yakin lu juga, gw cari-cari cara biar tetap terhubung dengan teman-teman kita. Ini dia tips-tips gw:
1. Jangan berpisah dalam keadaan tidak berhutang
Hutang bisa jadi tali kita lho, kawan. Jadi saran gw, cepet lu beli mukena Mb Arma, bros Mb Weye, baju dan jilbab Mb Estri, label Uni Ria sebanyak-banyaknya. Nah, misalnya nantinya kita terpisah, kan tetap harus kontak untuk melunasi pembayaran kan? Tinggal ketemuan deh untuk bayar. Jadi belum berakhir kan jodohnya? Haha.. saran gw emang bbbbrillian.
Em, tapi kan kalo mau bayar dagangan itu bisa transfer aja, ya? Yah.. nggak ketemu, dong? Tenaaaaanngg.. gw punya saran kedua.
2. Pinjem sesuatu punya mereka
Selain pinjem uang, lu bisa pinjem buku, spidol, tas, jilbab,panci, atau apapunlah ke temen lu. Jadi, lu nantinya harus ketemuan kan untuk balikin barang-barang ituu? Jodoh lu nggak berakhir kan? Ya kan ya kaaan? Hahahaha..
Eh, em, tapi kalo yang minjemin mengikhlaskan nggak jadi ketemuan dong ya? Terus, barang-barang juga bisa dikirim lewat paket, ya? Hadeeeh.. pelik juga.
Eh, tapi tenang deh. Gw punya tips ketiga.
3. Berdoa sama Allah semoga kita (dan orang yang tidak ingin kita akhiri jodohnya) dipanjangkan umurnya, murah rezeki, dan sehat badannya
Siapa tahu kan nantinya gw di Leiden dan dia di St. Petersburgh tapi ketemuannya di Bunaken, Derawan, atau Raja Ampat (buat yang nggak tau Derawan itu di mana, googling gih sonoh. Bagus, deh!). Atauuuuu.. bisa aja nantinya gw di Jatiwaringin dan dia di Depok tapi ketemunya di pelaminan, eh, apa di Mekah gitu. Mana tahu campur tangan Allah, kan? Hehehe..
Semoga jodoh kita tidak berakhir (lekas-lekas), ya, kawan.. ^^
Nah, karena pada dasarnya gw nggak pengen jodoh gw berakhir lekas-lekas (terutama dengan orang-orang terdekat) dan gw yakin lu juga, gw cari-cari cara biar tetap terhubung dengan teman-teman kita. Ini dia tips-tips gw:
1. Jangan berpisah dalam keadaan tidak berhutang
Hutang bisa jadi tali kita lho, kawan. Jadi saran gw, cepet lu beli mukena Mb Arma, bros Mb Weye, baju dan jilbab Mb Estri, label Uni Ria sebanyak-banyaknya. Nah, misalnya nantinya kita terpisah, kan tetap harus kontak untuk melunasi pembayaran kan? Tinggal ketemuan deh untuk bayar. Jadi belum berakhir kan jodohnya? Haha.. saran gw emang bbbbrillian.
Em, tapi kan kalo mau bayar dagangan itu bisa transfer aja, ya? Yah.. nggak ketemu, dong? Tenaaaaanngg.. gw punya saran kedua.
2. Pinjem sesuatu punya mereka
Selain pinjem uang, lu bisa pinjem buku, spidol, tas, jilbab,panci, atau apapunlah ke temen lu. Jadi, lu nantinya harus ketemuan kan untuk balikin barang-barang ituu? Jodoh lu nggak berakhir kan? Ya kan ya kaaan? Hahahaha..
Eh, em, tapi kalo yang minjemin mengikhlaskan nggak jadi ketemuan dong ya? Terus, barang-barang juga bisa dikirim lewat paket, ya? Hadeeeh.. pelik juga.
Eh, tapi tenang deh. Gw punya tips ketiga.
3. Berdoa sama Allah semoga kita (dan orang yang tidak ingin kita akhiri jodohnya) dipanjangkan umurnya, murah rezeki, dan sehat badannya
Siapa tahu kan nantinya gw di Leiden dan dia di St. Petersburgh tapi ketemuannya di Bunaken, Derawan, atau Raja Ampat (buat yang nggak tau Derawan itu di mana, googling gih sonoh. Bagus, deh!). Atauuuuu.. bisa aja nantinya gw di Jatiwaringin dan dia di Depok tapi ketemunya di pelaminan, eh, apa di Mekah gitu. Mana tahu campur tangan Allah, kan? Hehehe..
Semoga jodoh kita tidak berakhir (lekas-lekas), ya, kawan.. ^^
#MagicalRamadan #Day 6
Mensyukuri 6 hal yang berhubungan dengan pekerjaan kita.
1. Magang
Seperti yang sudah saya ceritakan di #MagicalRamadan #Day 5, saya pernah mencicip beberapa pengalaman kerja, dari yang nyambung sampai yang nggak nyambung dengan sastra. Pernah freelance jadi interviewer poling Kompas, magang di Indosat (star one dan matrix), dan magang di Penerbit Desantara. Saya merasa semakin kaya dengan pengalaman itu. Waktu poling, misalnya, macam-macam orang yang saya telepon. Dari ibu rumah tangga yang di tengah wawancara masakannya gosong, orang bule yang nggak bisa bahasa Indonesia, sampai mbah-mbah yang cuma butuh teman curhat.
2. Kuliah Kerja Nyata (KKN)
Saya kedapetan KKN di Cirebon. Syukurnya saya ditempatkan di desa yang enak dengan kepala desa yang ramah. Dari KKN sejuta pengalaman baru saya dapat. Ternyata kepala desa sebelah punya bukit, minimarket, pemandian belerang, hingga beberapa mobil (salah satunya jaguar). Dari KKN juga saya tahu, banyak anak yang nggak sekolah. Dengan berbagai alasan. Di sana kami juga sempat ke desa di atas gunung. Untuk mencapainya, kami nyewa angkot dengan perjalanan kira-kira 30-60 menit dengan kualitas perjalanan seperti naik rolerkoster: naik-turun-nikung ektrem.
3. Menulis Skenario
Syukur juga saya punya pengalaman ini. Saya suka ngoceh di tulisan. Jadi, ketika ada kesempatan ini, ya diambillah. Hehehe..
4. Di warung
Bapak saya punya warung. Dulu, terutama waktu kecil, pas libur kami sering bantu-bantu di warung. Kami diperlakukan seperti pekerja. Dapet duit juga udahannya. Hehehe..
5. Belajar dari siswa
Seperti @kikisuriki, saya juga mengajar. Cuma bedanya, saya ngajar bimbel. Mengajar bukan pekerjaan yang saya inginkan. Awalnya saya sungguh tersiksa. Saya begitu takut mengajar (dengan beberapa alasan). Kini, setidaknya saya merasa nikmat karena bisa mendapatkan berbagai pengalaman dari mengajar. Salah satunya ya itu kita bisa belajar dari siswa. Tentang banyak hal, misalnya: tekno (mereka biasanya punya alat-alat tekno tinggi) sampai bisa apdet pengetahuan.
6. Sabaaaaarrr
Saya bukan orang yang sabar. Tapi bukankah dengan mengajar kita bisa belajar (salah satunya) sabar? Dan, sampai sekarang saya masih belajar.
Alhamdulillah. Terima kasih, terima kasih, terima kasih.. ^^
1. Magang
Seperti yang sudah saya ceritakan di #MagicalRamadan #Day 5, saya pernah mencicip beberapa pengalaman kerja, dari yang nyambung sampai yang nggak nyambung dengan sastra. Pernah freelance jadi interviewer poling Kompas, magang di Indosat (star one dan matrix), dan magang di Penerbit Desantara. Saya merasa semakin kaya dengan pengalaman itu. Waktu poling, misalnya, macam-macam orang yang saya telepon. Dari ibu rumah tangga yang di tengah wawancara masakannya gosong, orang bule yang nggak bisa bahasa Indonesia, sampai mbah-mbah yang cuma butuh teman curhat.
2. Kuliah Kerja Nyata (KKN)
Saya kedapetan KKN di Cirebon. Syukurnya saya ditempatkan di desa yang enak dengan kepala desa yang ramah. Dari KKN sejuta pengalaman baru saya dapat. Ternyata kepala desa sebelah punya bukit, minimarket, pemandian belerang, hingga beberapa mobil (salah satunya jaguar). Dari KKN juga saya tahu, banyak anak yang nggak sekolah. Dengan berbagai alasan. Di sana kami juga sempat ke desa di atas gunung. Untuk mencapainya, kami nyewa angkot dengan perjalanan kira-kira 30-60 menit dengan kualitas perjalanan seperti naik rolerkoster: naik-turun-nikung ektrem.
3. Menulis Skenario
Syukur juga saya punya pengalaman ini. Saya suka ngoceh di tulisan. Jadi, ketika ada kesempatan ini, ya diambillah. Hehehe..
4. Di warung
Bapak saya punya warung. Dulu, terutama waktu kecil, pas libur kami sering bantu-bantu di warung. Kami diperlakukan seperti pekerja. Dapet duit juga udahannya. Hehehe..
5. Belajar dari siswa
Seperti @kikisuriki, saya juga mengajar. Cuma bedanya, saya ngajar bimbel. Mengajar bukan pekerjaan yang saya inginkan. Awalnya saya sungguh tersiksa. Saya begitu takut mengajar (dengan beberapa alasan). Kini, setidaknya saya merasa nikmat karena bisa mendapatkan berbagai pengalaman dari mengajar. Salah satunya ya itu kita bisa belajar dari siswa. Tentang banyak hal, misalnya: tekno (mereka biasanya punya alat-alat tekno tinggi) sampai bisa apdet pengetahuan.
6. Sabaaaaarrr
Saya bukan orang yang sabar. Tapi bukankah dengan mengajar kita bisa belajar (salah satunya) sabar? Dan, sampai sekarang saya masih belajar.
Alhamdulillah. Terima kasih, terima kasih, terima kasih.. ^^
#MagicalRamadan #Day 5
Rezeki tak pernah tertukar
Bicara tentang rezeki (dan saya), kita tidak akan banyak membicarakan uang. Saya tidak seberuntung "itu" (contoh dalam PR MagicalRamadan Day 5). Meski demikian, saya percaya keberuntungan saya besar. Ini bisa terlihat pada lima hal dari sejuta hal berikut:
1. Bersekolah sesuai keinginan
Bisa bersekolah saja bersyukur. Kedengerannya klise tapi ya emang benar. Saya merasa beruntung. Tahun 2006, saat saya KKN ke Cirebon, saya menemukan banyak anak usia SD putus sekolah. Alasan mereka? Mulai dari sekolahnya jauh, lebih pilih kerja, sampai ada juga--ini yang paling mengenaskan menurut saya--yang tidak bersekolah karena harus menjaga adik. Menjaga adik, pemirsa. Kedengarannya nggak penting banget, kan? Kita (oke, saya, deh) mana pernah kepikiran nggak sekolah cuma untuk jaga adik? Ke mana orang tuanya?
Ternyata, anak itu tinggal bersama neneknya. Neneknya sibuk jadi buruh petik sayur untuk makan sehari-hari. Ibunya? Jadi TKI di Arab--ia tidak menceritakan tentang ayahnya.
Oke, kembali ke subjudul saya: bersekolah sesuai keinginan. Benar-benar, deh, saya bersyukur untuk ini. Betapa tidak, hampir semua rencana pendidikan saya terealisasi. Waktu SMP saya menginginkan masuk MAN (Madrasah Aliyah Negeri--setingkat SMA) dan itu terwujud. Ketika duduk di kelas 1 SMA, saya sudah memutuskan untuk kuliah di jurusan sastra Indonesia atau jurnalistik. Syukurlah keinginan itu terwujud. Saya diterima di jurusan Sastra Indonesia meski bukan di universitas yang saya idam-idamkan. Sekarang ini, saya memendam keinginan untuk belajar lagi. Di Leiden. Semoga Allah--dan orang tua saya--mengizinkan.
2. Rezeki tak terduga
Saya rasa kamu juga pernah merasakan ini. Seringkali saya menginginkan sesuatu--bahkan sangat--dan dengan cara yang ajaib Allah mengabulkannya. Misalnya, saya menginginkan pepaya (terutama jika saya demam) lalu Bapak pulang dengan membawa pepaya--tanpa saya minta (verbalkan). Syukurlah!
3. Pengalaman kerja
Saya bersyukur punya pengalaman kerja magang di Kompas, Penerbit Desantara, hingga Indosat. Dari yang nyambung sampai yang nggak nyambung dengan sastra. Dengan begitu, aku merasa diriku semakin kaya. Ini tentu rezeki, bukan?
4. "Abang"
"Abang" itu sebutan untuk motorku. Dulu, saya sangat menginginkan Honda Supra X 125 dengan tangan saya sendiri. Menurut saya ketika itu, saya tidak bisa mencapainya. Sekarang, saat saya benar-benar bisa mewujudkan itu, bagi saya itu seperti rezeki yang sudah diatur. Saya percaya, saat saya yakin saya bisa mendapatkan sesuatu, saat itu tangan Tuhan bekerja. Kita, manusia, tinggal mencari cara mendapatkannya.
5. Puas bermain
Keluarga kami bukan orang ada. Tapi dulu, saat kami kecil, Bapak rajin mengajak kami jalan-jalan. Monas, TMII, sampai Yogya kami sambangi. Segala permainan pun pernah kami rasakan: bombom car sampai mandi bola (ingatkah, kalian, generasi masa lalu, betapa happening-nya permainan itu di kalangan bocah kencur. haha..). Bukankah itu rezeki?
Oh, ya, baru inget, saat kecil, rezeki kami begitu lancar begitu lebaran menjelang. Paling seneng deh beli baju berkantong banyak. Ngerti, kan, ya? Kita bisa masukin duit dan kue semuatnya kantong.
Kalau sekarang, waktunya gantian. Kitalah yang menjadi orang yang mengisi baju berkantong millik anak-anak kecil itu. Hahahaha.. Tapi syukurlah, kita masih bisa memberi. Bukankah itu kenikmatan juga?
Alhamdulillah. Terima kasih, terima kasih, terima kasih.
Bicara tentang rezeki (dan saya), kita tidak akan banyak membicarakan uang. Saya tidak seberuntung "itu" (contoh dalam PR MagicalRamadan Day 5). Meski demikian, saya percaya keberuntungan saya besar. Ini bisa terlihat pada lima hal dari sejuta hal berikut:
1. Bersekolah sesuai keinginan
Bisa bersekolah saja bersyukur. Kedengerannya klise tapi ya emang benar. Saya merasa beruntung. Tahun 2006, saat saya KKN ke Cirebon, saya menemukan banyak anak usia SD putus sekolah. Alasan mereka? Mulai dari sekolahnya jauh, lebih pilih kerja, sampai ada juga--ini yang paling mengenaskan menurut saya--yang tidak bersekolah karena harus menjaga adik. Menjaga adik, pemirsa. Kedengarannya nggak penting banget, kan? Kita (oke, saya, deh) mana pernah kepikiran nggak sekolah cuma untuk jaga adik? Ke mana orang tuanya?
Ternyata, anak itu tinggal bersama neneknya. Neneknya sibuk jadi buruh petik sayur untuk makan sehari-hari. Ibunya? Jadi TKI di Arab--ia tidak menceritakan tentang ayahnya.
Oke, kembali ke subjudul saya: bersekolah sesuai keinginan. Benar-benar, deh, saya bersyukur untuk ini. Betapa tidak, hampir semua rencana pendidikan saya terealisasi. Waktu SMP saya menginginkan masuk MAN (Madrasah Aliyah Negeri--setingkat SMA) dan itu terwujud. Ketika duduk di kelas 1 SMA, saya sudah memutuskan untuk kuliah di jurusan sastra Indonesia atau jurnalistik. Syukurlah keinginan itu terwujud. Saya diterima di jurusan Sastra Indonesia meski bukan di universitas yang saya idam-idamkan. Sekarang ini, saya memendam keinginan untuk belajar lagi. Di Leiden. Semoga Allah--dan orang tua saya--mengizinkan.
2. Rezeki tak terduga
Saya rasa kamu juga pernah merasakan ini. Seringkali saya menginginkan sesuatu--bahkan sangat--dan dengan cara yang ajaib Allah mengabulkannya. Misalnya, saya menginginkan pepaya (terutama jika saya demam) lalu Bapak pulang dengan membawa pepaya--tanpa saya minta (verbalkan). Syukurlah!
3. Pengalaman kerja
Saya bersyukur punya pengalaman kerja magang di Kompas, Penerbit Desantara, hingga Indosat. Dari yang nyambung sampai yang nggak nyambung dengan sastra. Dengan begitu, aku merasa diriku semakin kaya. Ini tentu rezeki, bukan?
4. "Abang"
"Abang" itu sebutan untuk motorku. Dulu, saya sangat menginginkan Honda Supra X 125 dengan tangan saya sendiri. Menurut saya ketika itu, saya tidak bisa mencapainya. Sekarang, saat saya benar-benar bisa mewujudkan itu, bagi saya itu seperti rezeki yang sudah diatur. Saya percaya, saat saya yakin saya bisa mendapatkan sesuatu, saat itu tangan Tuhan bekerja. Kita, manusia, tinggal mencari cara mendapatkannya.
5. Puas bermain
Keluarga kami bukan orang ada. Tapi dulu, saat kami kecil, Bapak rajin mengajak kami jalan-jalan. Monas, TMII, sampai Yogya kami sambangi. Segala permainan pun pernah kami rasakan: bombom car sampai mandi bola (ingatkah, kalian, generasi masa lalu, betapa happening-nya permainan itu di kalangan bocah kencur. haha..). Bukankah itu rezeki?
Oh, ya, baru inget, saat kecil, rezeki kami begitu lancar begitu lebaran menjelang. Paling seneng deh beli baju berkantong banyak. Ngerti, kan, ya? Kita bisa masukin duit dan kue semuatnya kantong.
Kalau sekarang, waktunya gantian. Kitalah yang menjadi orang yang mengisi baju berkantong millik anak-anak kecil itu. Hahahaha.. Tapi syukurlah, kita masih bisa memberi. Bukankah itu kenikmatan juga?
Alhamdulillah. Terima kasih, terima kasih, terima kasih.
Rabu, 25 Juli 2012
#MagicalRamadan #Day 4
Tujuh hal mengenai kondisi kesehatan yang kusyukuri
Tanpa babibu, aku bersyukur atas:
1. Masih bisa bernafas
Pernah (em, oke, kayaknya agak sering, terutama deket-deket asap), aku sangat susah bernafas. Oksigen seperti enggan masuk ke hidung seolah baru sampai lubang hidung lalu ia putar balik. Ini sangat menyiksa, Kawan!
Begitu juga kalau flu. Terlalu banyak cairan di hidung membuat pernafasan terganggu. Perlu bantuan mulut untuk mengambil oksigen dari sekitar--yang padahal bukan cuma oksigen aja yang masuk dan nggak bisa disaring.
Jadi, kalau sekarang kita bisa bernafas dengan lega, bebas, dan teratur, tentu ini hal yang patut disyukuri. Ya, kan?
2. Masih bisa menelan
Pernah beberapa tahun lalu aku kesulitan menelan makanan. Betul-betul susah. Susah-susah betul. Bubur aja nggak bisa nelan. Bubur lho bubur... apalagi makanan lain? Minum susah. Apalagi ngomong. Yang aku ingat, waktu itu aku hanya bisa menelan regal yang sudah dihaluskan sehalus-halusnya. Betul-betul bayi. Bahkan bayi pun masih bisa minum dengan lancar. Huft, syukurlah masa itu telah berlalu. Fix aku nggak mau mengulang masa-masa itu. *Kurangi nelen kulit duren bulat-bulat
3. Sembuh dari tipes
Hasil lab tahun 2003 bilang ada Salmonella Thyphio di tubuhku. Aku divonis kena tipes. Aku ingat betul waktu itu aku dalam masa ujian praktik SMA. Alhasil, karena kena tipes aku tidak ikut praktik olahraga (kayaknya sih akhirnya susulan).
Tahun 2004 aku divonis kena tipes lagi. Harus beristirahat di rumah lagi. Obatku adalah cacing. Hiy! Tapi yang menggelikan dari kisahku minum kapsul (yang ternyata isinya cacing) adalah adikku (akhirnya) kapok minum obat sembarangan. Adikku emang punya hobi minum obat apa pun punya siapa pun meski dia nggak sakit. Namun sejak dia minum kapsul cacingku, dia kapok minum obat seenaknya karena dia geli dengan cacing. Hahahaha.. Sembarangan, sih! *celingak-celinguk semoga abis ini nggak dijitak*
4. Merasakan sakit perut menstruasi
Awalnya aku nggak pernah sakit perut saat menstruasi. Teman-temanku sering bercerita tentang pengalaman sakit perut mereka bahkan ada yang tiap bulan pasti absen sekolah gara-gara sakit perut. Mereka bilang sakit banget kayak mau melahirkan (yang kemudian mereka ralat, kan belom pernah ngelahirin). Yang lainnya bilang kayak pengen kentut tapi nggak keluar dan kentutnya kayak masuk lagi ke badan. Nah, lo?
Saat itu aku sangat berharap aku bisa sakit perut juga. Yah, habis, yang lain punya cerita masa aku nggak? Sekarang, syukurlah, cita-citaku tercapai. Hampir tiap bulan aku sakit perut, kadang-kadang disertai demam. Jadi punya cerita deh akuh. Hehehe..
dan jadi tahu betapa nikmatnya tidak sakit perut saat menstruasi. Hehehe..
5. Pingsan
Tentang ini aku pernah nulis di sini.
Tahulah aku kini bahwa tidak pingsan itu sangat nikmat. Syukurlah!
6. Asam Urat
Aku divonis kena asam urat oleh dokter. Padahal umurku baru 12 tahun. Em, oke, ngaku deh, aku kelahiran 1901 seangkatan Bung Karno dan Edward Cullen. Hehehehe... .
Kalau kumat, kakiku membengkak dan nyeri bukan main. Teman-temanku sering menertawakanku karena menurut mereka asam urat adalah penyakit orang tua. Aku sering membantah mereka. Bagiku ini semacam dekonstruksi. Asam urat bukan monopoli kaum tua. Orang muda juga bisa dong kena asam urat? Yeay! Hahahaha... .
Bagaimanapun, aku bersyukur belakangan kakiku tidak sering kumat dan berkat si asam urat ini aku jadi lebih memperhatikan kakiku. Allah memberi dua kaki untukku dan seharusnya aku jaga mereka sebaik yang aku bisa.
7. Kesehatan mereka
Sebetulnya kalau dideretkan penyakitku sendiri ada banyak. Ini jerawat belum masuk. Jangan kaupikir aku akan menulis bahwa jerawat mengganggu. Sebaliknya. Bagiku jerawat itu sangat mengagumkan. Menghias wajah seperti langit bertabur bintang, bukan seperti kali bertabur sampah bungkus somay, mie instan, dan sebagainya.
Oh, oke, subjudulnya kesehatan mereka. Aku bersyukur, sangat, orang-orang di sekitarku diberi kesehatan oleh Allah. Merekalah yang pertama-tama memperhatikan kondisi kesehatanku. Betapa tidak tahu berterima kasihnya aku jika tidak melakukan sesuatu untuk mereka--walaupun itu sebatas doa. Ya, semoga mereka selalu dilindungi Allah dan diberi kesehatan. Juga semoga aku selalu ada saat mereka membutuhkanku.
Alhamdulillah. Terima kasih, terima kasih, terima kasih ya Allah... . ^^
Tanpa babibu, aku bersyukur atas:
1. Masih bisa bernafas
Pernah (em, oke, kayaknya agak sering, terutama deket-deket asap), aku sangat susah bernafas. Oksigen seperti enggan masuk ke hidung seolah baru sampai lubang hidung lalu ia putar balik. Ini sangat menyiksa, Kawan!
Begitu juga kalau flu. Terlalu banyak cairan di hidung membuat pernafasan terganggu. Perlu bantuan mulut untuk mengambil oksigen dari sekitar--yang padahal bukan cuma oksigen aja yang masuk dan nggak bisa disaring.
Jadi, kalau sekarang kita bisa bernafas dengan lega, bebas, dan teratur, tentu ini hal yang patut disyukuri. Ya, kan?
2. Masih bisa menelan
Pernah beberapa tahun lalu aku kesulitan menelan makanan. Betul-betul susah. Susah-susah betul. Bubur aja nggak bisa nelan. Bubur lho bubur... apalagi makanan lain? Minum susah. Apalagi ngomong. Yang aku ingat, waktu itu aku hanya bisa menelan regal yang sudah dihaluskan sehalus-halusnya. Betul-betul bayi. Bahkan bayi pun masih bisa minum dengan lancar. Huft, syukurlah masa itu telah berlalu. Fix aku nggak mau mengulang masa-masa itu. *Kurangi nelen kulit duren bulat-bulat
3. Sembuh dari tipes
Hasil lab tahun 2003 bilang ada Salmonella Thyphio di tubuhku. Aku divonis kena tipes. Aku ingat betul waktu itu aku dalam masa ujian praktik SMA. Alhasil, karena kena tipes aku tidak ikut praktik olahraga (kayaknya sih akhirnya susulan).
Tahun 2004 aku divonis kena tipes lagi. Harus beristirahat di rumah lagi. Obatku adalah cacing. Hiy! Tapi yang menggelikan dari kisahku minum kapsul (yang ternyata isinya cacing) adalah adikku (akhirnya) kapok minum obat sembarangan. Adikku emang punya hobi minum obat apa pun punya siapa pun meski dia nggak sakit. Namun sejak dia minum kapsul cacingku, dia kapok minum obat seenaknya karena dia geli dengan cacing. Hahahaha.. Sembarangan, sih! *celingak-celinguk semoga abis ini nggak dijitak*
4. Merasakan sakit perut menstruasi
Awalnya aku nggak pernah sakit perut saat menstruasi. Teman-temanku sering bercerita tentang pengalaman sakit perut mereka bahkan ada yang tiap bulan pasti absen sekolah gara-gara sakit perut. Mereka bilang sakit banget kayak mau melahirkan (yang kemudian mereka ralat, kan belom pernah ngelahirin). Yang lainnya bilang kayak pengen kentut tapi nggak keluar dan kentutnya kayak masuk lagi ke badan. Nah, lo?
Saat itu aku sangat berharap aku bisa sakit perut juga. Yah, habis, yang lain punya cerita masa aku nggak? Sekarang, syukurlah, cita-citaku tercapai. Hampir tiap bulan aku sakit perut, kadang-kadang disertai demam. Jadi punya cerita deh akuh. Hehehe..
dan jadi tahu betapa nikmatnya tidak sakit perut saat menstruasi. Hehehe..
5. Pingsan
Tentang ini aku pernah nulis di sini.
Tahulah aku kini bahwa tidak pingsan itu sangat nikmat. Syukurlah!
6. Asam Urat
Aku divonis kena asam urat oleh dokter. Padahal umurku baru 12 tahun. Em, oke, ngaku deh, aku kelahiran 1901 seangkatan Bung Karno dan Edward Cullen. Hehehehe... .
Kalau kumat, kakiku membengkak dan nyeri bukan main. Teman-temanku sering menertawakanku karena menurut mereka asam urat adalah penyakit orang tua. Aku sering membantah mereka. Bagiku ini semacam dekonstruksi. Asam urat bukan monopoli kaum tua. Orang muda juga bisa dong kena asam urat? Yeay! Hahahaha... .
Bagaimanapun, aku bersyukur belakangan kakiku tidak sering kumat dan berkat si asam urat ini aku jadi lebih memperhatikan kakiku. Allah memberi dua kaki untukku dan seharusnya aku jaga mereka sebaik yang aku bisa.
7. Kesehatan mereka
Sebetulnya kalau dideretkan penyakitku sendiri ada banyak. Ini jerawat belum masuk. Jangan kaupikir aku akan menulis bahwa jerawat mengganggu. Sebaliknya. Bagiku jerawat itu sangat mengagumkan. Menghias wajah seperti langit bertabur bintang, bukan seperti kali bertabur sampah bungkus somay, mie instan, dan sebagainya.
Oh, oke, subjudulnya kesehatan mereka. Aku bersyukur, sangat, orang-orang di sekitarku diberi kesehatan oleh Allah. Merekalah yang pertama-tama memperhatikan kondisi kesehatanku. Betapa tidak tahu berterima kasihnya aku jika tidak melakukan sesuatu untuk mereka--walaupun itu sebatas doa. Ya, semoga mereka selalu dilindungi Allah dan diberi kesehatan. Juga semoga aku selalu ada saat mereka membutuhkanku.
Alhamdulillah. Terima kasih, terima kasih, terima kasih ya Allah... . ^^
Di masa depan..
Di masa depan suara kendaraan bisa disetel. Jadi nggak berisik lewat depan musholla.
Di masa depan mobil bisa dilipet kayak sepeda dan bisa digulung kayak laptop.
Di masa depan nggak ada macet. Kan semua orang jalan kaki. Sehat. (ini masa depan apa masa lalu? Masa bodo ah)
Di masa depan semua petasan berbahan dasar suara Wulan Susanti (alumni 12 IPS; keingetan suara mb Weye juga, sih..).
Di masa depan bisa naik bebek-bebekan di langit.
Di masa depan nggak ada sampah. Makanan kelar dimakan diolah untuk dimakan lagi. Uek.
Di masa depan mobil flying lady itu cuma buat kalung tante-tante kaya (habis katanya ada yang dibuat dari kristal).
Di masa depan orang Prancis bikin rendang di rumah mereka dan makannya pake roti panjang mereka itu..
Jangan aja di masa depan imam kelewat gaul. Aba-aba ruku, i'tidal, sujud, semua lewat status atau twit. *naudzubillah. Amit-amit jabang bayi*
Di masa depan hujannya hujan duit. Logaman.
Di masa depan bola cuma dimaenin di game. Lahan abis buat rumah. *amit-amit lagi* *ngelus-elus perut* *perut Mb Wati*
Di masa depan emak-emak gosip jadi jurnalis semua. Mereka punya bakat terdepan dalam mengabarkan soalnya.
Di masa depan kecoak dijadiin keripik. Goceng tiga.
Di masa depan kecoak dikasih air keras terus dijadiin bros atau bandul kalung. Harganya Rp43.500,00 (no angsur, no nego).
Di masa depan bapaknya anak-anak namanya Nicholas Saputra *asas pede tak bersalah*
Di masa depan lu akan inget gw pernah nulis ini. Camkan itu baik-baik, Marisol!
Di masa depan mobil bisa dilipet kayak sepeda dan bisa digulung kayak laptop.
Di masa depan nggak ada macet. Kan semua orang jalan kaki. Sehat. (ini masa depan apa masa lalu? Masa bodo ah)
Di masa depan semua petasan berbahan dasar suara Wulan Susanti (alumni 12 IPS; keingetan suara mb Weye juga, sih..).
Di masa depan bisa naik bebek-bebekan di langit.
Di masa depan nggak ada sampah. Makanan kelar dimakan diolah untuk dimakan lagi. Uek.
Di masa depan mobil flying lady itu cuma buat kalung tante-tante kaya (habis katanya ada yang dibuat dari kristal).
Di masa depan orang Prancis bikin rendang di rumah mereka dan makannya pake roti panjang mereka itu..
Jangan aja di masa depan imam kelewat gaul. Aba-aba ruku, i'tidal, sujud, semua lewat status atau twit. *naudzubillah. Amit-amit jabang bayi*
Di masa depan hujannya hujan duit. Logaman.
Di masa depan bola cuma dimaenin di game. Lahan abis buat rumah. *amit-amit lagi* *ngelus-elus perut* *perut Mb Wati*
Di masa depan emak-emak gosip jadi jurnalis semua. Mereka punya bakat terdepan dalam mengabarkan soalnya.
Di masa depan kecoak dijadiin keripik. Goceng tiga.
Di masa depan kecoak dikasih air keras terus dijadiin bros atau bandul kalung. Harganya Rp43.500,00 (no angsur, no nego).
Di masa depan bapaknya anak-anak namanya Nicholas Saputra *asas pede tak bersalah*
Di masa depan lu akan inget gw pernah nulis ini. Camkan itu baik-baik, Marisol!
Selasa, 24 Juli 2012
Apa kabar, Hati?
Apa kabar, Hati?
Baik-baik saja hendaknya.
Aku ingin tahu,
apa kau menantiku?
Atau saat ini kau sedang asyik berdarah-darah?
Terakhir kudengar,
kau sedang menyeruput sejumput luka.
Lupakah kau padaku?
Mungkin kaujawab mungkin.
Akan tetapi, lupakah kau pada kita?
Aku yakin tidak
tapi ya kau akan menjawab
"Ya, sudah lupa."
Ah, betapa aku lupa keras kepalanya kau ini.
Baik-baik saja hendaknya.
Aku ingin tahu,
apa kau menantiku?
Atau saat ini kau sedang asyik berdarah-darah?
Terakhir kudengar,
kau sedang menyeruput sejumput luka.
Lupakah kau padaku?
Mungkin kaujawab mungkin.
Akan tetapi, lupakah kau pada kita?
Aku yakin tidak
tapi ya kau akan menjawab
"Ya, sudah lupa."
Ah, betapa aku lupa keras kepalanya kau ini.
Senin, 23 Juli 2012
#MagicalRamadan #Day 3
Tiga Orang yang Disyukuri Keberadaannya
Tiga
orang?
Hmmm...
.
Begini
saja. Aku mau berlaku curang. Kusebut orang yang kusyukuri kehadirannya yang
memberi pengaruh sangat besar dalam hidupku sebagai 3 pihak: keluarga, sahabat,
dan dia. Yang penting angkanya sama. Hehehe... .
1.
Keluarga
Dari sekadar “dia ibuku,
dia bapakku, dia adikku”, jadi “syukurlah
dia ibuku, dia bapakku, dia adikku.” Kami semakin rekat. Gara-gara jalan yang
harus kami lalui jelek, rusak, dan bocel-bocel. Kami harus berpegangan satu
sama lain.
Dulu kami tidak terlalu
peduli dengan kegiatan kami masing-masing. Sekarang, satu orang jadi pemantau
pemilu, 4 orang yang sibuk. Satu orang yang ikut pelatihan, 4 orang yang repot.
Begitu seterusnya. Semoga Allah selalu memberi petunjuk kepada kami dan semoga
hati kami senantiasa lapang dan bahagia.
2.
Sahabat
Bersama mereka yang
kusebut “semoga jodoh kita tidak berakhir (lekas-lekas)”. Mereka yang
menamparku. Mereka yang melecutku. Mereka yang mengulurkan tangan padaku. Mereka
yang menyeka air mataku. Mereka yang duduk di sampingku. Mereka yang selalu
memberi pundak padaku untuk kusandari. Mereka itu. Semoga jodoh kami tidak
berakhir (lekas-lekas).
3.
Dia
Dia ya dia. Seorang teman
bilang bahwa dia merupakan titik balikku. Nggak begitu ngerti sih aku. Tapi ya..
bersama dia berbagai rasa tercipta. Yang paling manis pernah kurasa bersamanya.
Yang paling pahit pun berasal dari dia. Bukankah memang kita menjadi lebih peka—yang
padahal di orang lain biasa saja—terhadap kata dan sikap orang yang kita...
em... cintai?
Semoga dia bahagia di
mana pun dia berada sekarang dan semoga Allah memberi jodoh yang terbaik untuk
kami.
Okeee, untukmu,
pembacaku yang budiman, juga deh... . Semoga bahagia! ^^
Alhamdulillah.
Terima kasih, terima kasih... dan TERIMA KASIH!
#MagicalRamadan #Day 2
Satu
peristiwa terbaik
Belum-belum
aku sudah seperti nano-nano. Beragam rasa. Seperti banyak bola-bola rasa
bertuliskan: senang, sedih, haru, bahagia, dan kawan-kawan yang mengudara di
kamarku. Mereka muncul dari benak, dari hati, dari mata, dari kuping, dari
segala lubang, dari segala pori di tubuhku.
Mungkin
kamu bertanya-tanya, seberapa istimewanya peristiwa itu sampai-sampai berbagai
rasa memenuhi udara. Ya, kan?!
Mmm…
dia (kita manusiakan saja peristiwa itu, ya?) sangat, sangat istimewa. Dia itu
disebut: WISUDA (kuberi huruf kapital biar matamu bisa membesar dan berbinar.
Hehe…). Menurutku itu satu pencapaian. Bukan cuma pencapaianku, melainkan juga
pencapaian keluargaku dan orang-orang di sekitarku.
Kamu
tahu, tidak seperti kebanyakan mahasiswa normal, aku perlu menghabiskan 8 tahun
sebagai mahasiswa. Tanpa berniat begitu, tentu. Katakanlah, cita-citaku ideal:
kuliah selesai 4 tahun, bekerja, lalu menikah (dengan tetap kerja).
Awalnya
aku berhasil. Aku bisa mengambil SKS lebih banyak dibanding kebanyakan
teman-teman dan bisa semester pendek dengan tujuan percepatan (bukan
perbaikan). Tahun 2003 aku masuk kuliah dan tahun 2006 akhir semua mata kuliah
selesai. Tiga tahun. Tinggallah skripsi.
Namun,
Allah berkehendak lain. Rencanaku bubar jalan. Aku yang notabene masih
berantakan dalam mengatur waktu sehingga awalnya tidak mau bekerja dihadapkan
pada kenyataan harus bekerja. Berbagai konflik seperti terasa kelereng se-truk
dijatuhkan dari langit ke kepalaku. Mulanya masalah ekonomi, berimbas ke
masalah keluarga, berimbas ke masalah internal diriku, dst.
Aku
kesulitan konsentrasi. Pikiranku pecah ke mana-mana. Bolehlah kau tahu, aku
baru kembali ke kampus tahun 2010 (sejak tahun 2007 awal). Sebelumnya, aku ke
kampus hanya untuk bayaran, tanpa kuliah, tanpa konsul, tanpa aktivitas apa
pun—temanku selalu bilang: “Ika Fitriana sedang bertapa di gunung”.
Aku
rapuh, itu aku tahu. Padahal mungkin masalah-masalah yang kuhadapi adalah
masalah umum yang cuma bernilai setitik dibanding masalah-masalah yang dihadapi
orang lain. Yah, begitulah. Aku pengecut yang melarikan diri.
Beruntungnya
aku memiliki orang-orang yang peduli padaku. Mana bisa aku melupakan nama-nama
seperti: Imas Uliyah, Indah Bakti, Nuniek Nurbayani, Anandia Eka Kencanawati,
Wati yunita, Wahyu Nur Indah Kurniasari, Siti Asiyah, dan sederet nama lain
yang kalau dituliskan serasa kata pengantar skripsiku pindah ke sini. Mereka
memberi dukungan dengan caranya sendiri-sendiri. Kurasa, mereka sempat hampir
patah semangat membangun semangat dan percaya diriku yang mati suri.
Hal
lain yang membuatku makin gentar menghadapi skripsi adalah pembimbingku yang
idealis. Memilih beliau adalah kemauanku. Mengajar di beberapa universitas
ternama dan aktif di berbagai organisasi membuat beliau berkacamata luas. Aku
merasa beruntung bisa dibimbing beliau.
Tapi
ya… itu. Waktu beliau terbatas. Harus sering bolak-balik Jakarta-Jember. Pernah
konsulku dibatalkan sampai 3 atau 4 kali baru bisa bertemu. Pernah beliau suruh
imel, tapi baru dibahas saat bertemu. Pernah beliau suruh kirim dokumen ke
Jember, pun dibahas saat beliau kembali. Minimal 1 tahun bimbingan dengan
beliau. Sampai beliau benar-benar yakin kita siap sidang, barulah kita di-acc.
Aku
bersyukur, paling maksimal cuma disuruh konsul di bandara—ada yang pernah harus
ke Jember menyusul beliau. Ya. Aku ke bandara hanya untuk konsul. Jangan
kaubayangkan kami akan duduk dan membahas skripsiku di salah satu bangku di
sana. Kami membahas skripsi sambil berdesakan antre masuk terminal!
Aku,
ketika sedang konsul waktu itu, hanya membawa satu pulpen, skripsi, dan goody-bag. Ponsel, dompet, dan tas
kutitip pada Bapak yang duduk di salah satu bangku. Benar-benar tak terbayang
jika aku dimintai tiket. Di depan sana tampak petugas memeriksa tiket orang-orang
yang antre. Aku benar-benar khawatir. Bagaimana jika dimintai tiket? Bagaimana
jika dimintai uang apa itu untuk bisa masuk? Padahal nggak punya tiket dan
nggak bawa uang.
Aku
berusaha mengabaikan itu. Aku konsen ke skripsi, dan voila! Aku sudah di dalam.
Entah Allah campur tangan bagaimana. Mungkin aku tidak terlihat di mata petugas
atau apa, yang jelas aku bisa masuk. Aku mengikuti dosenku ke mana pun ia
pergi—ke tempat menimbang barang hingga ke meja panjang entah meja apa itu.
Nafasku belum lega sampai aku keluar dari
situ. Aku mencari-cari pintu keluar. Ada satu pintu—mungkin itu pintu petugas
atau apa. Aku lewat situ dan dengan tatapan aneh satpam di pintu yang tampak
selalu tertutup itu aku keluar. Fiuuuuhh… syukurlah!
Masih
kuingat betul saat aku (akhirnya) aku di-acc sidang oleh beliau. Waktu itu
sudah malam. Dengan perjalanan kurang
lebih 1,5 jam, aku di rumahnya hanya sekitar 5-10 menit. Tanda tangan. Selesai.
Masih kuingat juga
waktu sidang. Salah satu pengujiku orang kependidikan—bukan sastra murni. Babak
belurlah skripsiku. Karena tegang dan sebagainya, aku kebingungan menjawab. Pembimbingku
yang terkenal sebagai orang sangaaatt objektif (tidak pernah membela anak
bimbingannya; bahkan ada yang pernah dijatuhkan) untungnya membelaku—tentang hal
ini, setelah selesai semua, ia menolak dibilang “membela”, menurutnya ia hanya “menormalkan
keadaan”.
Nah, dengan
semua yang aku hadapi, bagaimana bisa aku tidak mengatakan betapa istimewanya
wisudaku? Kuliah 8 tahun, mahasiswa tertua (nggak benar-benar tertua denotasi,
tapi ngerti kan maksudku?), juru kunci angkatan, celingak sana nggak ada yang
kenal, celinguk sini nggak ada yang kenal, ditambah seharusnya aku tidak
sendiri, seharusnya aku bersama temanku yang seorang lagi yang juga berjuang
bersama—entah bagaimana kabarnya sekarang.
Aku sangat,
sangat, sangat bersyukur. Bersyukur Allah memantapkan niatku lulus, bersyukur
Allah mempermudah jalan menyelesaikan skripsiku, bersyukur aku diberi kelapangan
hati menerima segala hal, bersyukur diberi kenikmatan bersyukur, bersyukur
dikirimkan malaikat-malaikat berwujud keluarga, teman, saudara, bahkan orang
asing, bersyukur diberi berbagai pelajaran, bersyukur atas… ya, semuanya. Semuanya.
Kini aku
seperti langit.
Merdeka.
Alhamdulillah.
Terima kasih,
terima kasih, terima kasih… .
*salim*
Langganan:
Postingan (Atom)