Sebuah
toko buku kecil yang dulu hampir tiap minggu kudatangi untuk dapat buku gratis.
Ya, tiap hari tertentu toko buku itu akan membagikan 15 buku gratis. Bila
bukunya menarik, tentu tak segan aku antre dari dua jam sebelum pembagian.
Gratisan selalu menggiurkan, eh?
Ketika
aku ke sini lagi, setelah sekian tahun, kudapati toko buku ini lebih sepi.
Lampu-lampunya muram. Tidak sinkron dengan suasana mal yang ramai.
Pengunjungnya
kali ini hanya lima: seorang bapak dengan anaknya yang berpipi gembul menggemaskan,
seorang pria bercelana pendek kotak-kotak berjam tangan mahal (mungkin penghuni
apartemen yang ada di atas mal ini), seorang pria bertas ransel berjaket kulit,
dan aku.
Perempuan
berpakaian putih-hitam diam-diam menekan sebuah alat penghitung. Menghitung
jumlah pengunjung. Barangkali di akhir bulan mereka akan rapat evaluasi dan
mencari-cari jawaban mengapa toko buku dengan lampu muram itu sepi pengunjung.
Buku-buku
yang dipajang masih tersusun rapi. Para pegawai itu tentu tak perlu terlalu mengeluarkan
tenaga lebih dan mengeluarkan keluhan-keluhan tentang buku yang berantakan dan
tidak dirapikan kembali oleh pengunjung yang habis membaca. Selintas di benak,
“Mana yang lebih muram, muka pegawai yang membereskan buku yang berantakan atau
muka pegawai yang tidak perlu membereskan buku karena sepi pengunjung?”
Aku
jadi pengin membuat berantakan.
(Kalcit, 8 Oktober 2016)