“Keluargaku
broken, Kaf,” katanya suatu kali saat
kami sedang duduk lesehan di salah satu bagian pelataran Monas. Ia duduk
memanjangkan kaki. Kedua tangannya menjadi tumpuan tubuhnya yang condong ke
belakang. Pandangannya mengarah ke langit, ke pucuk Monas tepatnya. “Gue nggak
kayak lu yang keluarganya utuh.”
“Terus?”
aku cuek saja menggambari tingkah orang di Monas di sebuah buku.
“Gue
tinggal sama nyokap. Jadi tulang punggungnya.”
“Hmmm,”
aku masih mencoret-coret, “terus?”
“Kaf,
gue ngomong serius,” kali ini ia menghadapku. Tangan yang digunakan untuk
bersandar tadi sudah ia tarik. Kakinya dilipat. “Lu nggak dengerin gue?”
“Denger.”
“Terus
kenapa lu bilang ‘terus, terus?’”
“Ya,
terus gue suruh bilang apa? Bilang ‘apa pun latar belakang lu, lu harus berani
belajar komitmen’? Bilang ‘jangan semua perempuan berjidat licin yang lewat lu
deketin tanpa lu jadiin’? Bilang ‘lu hebat jadi tulang punggung’? Bilang
harusnya Bapak-Ibu lu tetap mempertahankan pernikahannya’? Bilang apa?”
“Ya…
bilang—“
“—Gue
cuma pelakon. Lu juga. Kita ini kayak ngejalanin naskah yang kelihatannya full improve padahal sebenarnya nggak.
Ini naskah terencana matang, bahkan improve
kita sudah diperhitungkan Sang Mahasutradara. Lu mau gue bilang apa?”
Semua itu
kukatakan sambil tetap memegang buku dan pensil dengan tatapan penuh ke buku.
Aku tidak berani membalas tatapannya. Sebab, jika itu kulakukan, akan tampak jelas
sekali seolah ada tulisan di dahiku: aku mencintai kamu yang keluarganya broken, yang jadi tulang punggung, yang gebet banyak perempuan tanpa status
pacar (apalagi istri), yang bisanya cuma curhat
dan hanya menganggapku teman.
(8 Desember 2013)