Nina
seorang gadis kecil biasa dari keluarga biasa. Ia sedang mencuci piring di
bagian belakang rumah kontrakannya saat ia mengutarakan ini, “Aku ingin pergi
ke Operet Bobo, tetapi tak bisa. Mahal. Bapak juga pasti tak tahu JCC. Em,
kalau sekarang aku tidak bisa pergi, aku mau di masa depan nanti aku menonton
pertunjukan sesering yang aku mau. Semoga nanti anak-anakku juga bisa menonton
pertunjukan yang mereka mau, tidak sepertiku.”
Dia
akan membuka kotak obat dan melihat kosong di sana. Dia lalu beranjak dari
situ. Pandangannya sering kosong dan suka sekali pikirannya mengembara. Dia
terbang.
Dia
menyeberang jalan kemudian terhenti di tengah-tengah. Ada dua motor menanti
langkahnya. Jaraknya hanya selangkah. Barangkali pengendara dua motor itu akan
memaki dan menuduhnya jalan tanpa pikiran. Sebenarnya otaknya memang ia tinggal
di bawah bantal.
Hari
dua
Dia
masih sekonyong-konyong. Dia membuka kotak obat dan kosong di sana. Dia akan
tertawa terbahak-bahak tanpa tahu hal yang ia tertawakan. Ia tak mengerti betapa
hal yang tidak lucu menjadi sangat lucu.
Ia
menumpahkan minum temannya dan hampir saja mengenai laptop temannya. Dia lalu
menyalahkan gelas yang berdiri sembarangan di atas meja. Ya, mesti ada yang
bisa disalahkan agar ia tak bersalah.
Dia
menumpahkan tinta hingga separuh botol. Meja dan lantai menjelma hitam tinta.
Ruangan penuh bau tinta. Hidungnya tak berterima. Ia lantas keluar mencari
udara selain tinta.
Tanpa
mengurangi rasa cinta kepada bangsa dan negara (halah!), aku langsung jawab
pertanyaanmu aja ya, Jen! A untuk Ajen, I untuk Ikaf. Kita mulai.
1.A: Apa yang biasa kamu tuangkan ke
dalam blog kamu? Fiksi? Curhat? Atau apa? Kasih alasan yah.
I: Apa aja. Fiksi iya, curhat iya,
apa juga iya. Cuma kalau ditanya mau nikah sama kamu aja yang aku jawab “nggak”.
Kenapa? Karena aku sayang dia. Uwuwuwuwuw~
2.A: Adakah buku yang kamu baca lebih
dari dua kali? Buku apakah itu? Dan kenapa?
I: Ada. Salah satunya Harry
Potter. Kayaknya sih karena aku pelupa, jadi mesti baca lagi biar ingat. Bukunya
kan tebal gitu. Terus, sama tabungan deh. Buku nikah juga (nantinya). Amin.
3.A: Kalau dikasih duit 1 miliar, apa
yang kamu lakukan?
I: Siapa yang mau ngasih, Jen? Sini
bisikin dulu.
4.A: Lebih suka twitter atau facebook? Alasannya
apakah?
I: Yah, ini mah tergantung dianya
aku ada di mana. Kalau dia di fesbuk, ya aku suka fesbuk; kalau dia di twitter
ya aku suka twitter. Kenapa? Karena aku sayang dia. Uwuwuwuwuw~
5.A: Negara yang ingin kamu tinggalin selain
Indonesia?
I: Ta, tapi, Jen, aku cinta
Indonesia! Gimanapun ini negaraku! Aku nggak mau ninggalin! Kamu jaat. :(
6.A: Apa hal yang kamu lakukan untuk
mengembalikan mood jika stress?
I: Aku nyanyi lagunya Bang Oma:
STREEEES~ OBATNYA IMAN DAN TAQWAAAA~
7.A: Iphone atau Android atau Blackberry?
Sertai alasan!
I: Suka semua. Tergantung kamu mau
ngasih aku yang mana. Aku nrimo kok orangnya.
8.A: Kamu lebih pilih buang galau di laut
atau gunung? Sertai alasannya!
I: Lebih pilih nggak dibuang sih. Kesian
gitu, Jen. Mereka ada masa untuk dibuang. Kan sayang. Mending dijadiin tenaga
untuk pembangkit listrik, misalnya. Jadi ada pembangkit listrik tenaga galau. Atau
bisa dijadiin studi, jurusan sendiri. Jadi kita bisa bikin skripsi tentang
kegalauan. Kayaknya ada kan tuh teorinya Freud yang kecemasan hati. Iya nggak
sih?
9.A: Kalau kamu dikasih mesin waktu, ke
masa lalu yang mana kamu ingin pergi?
I: Mesin waktu itu untuk orang
yang menyesal. Aku nggak mau menyesali yang sudah terjadi. Kalau memang harus
terjadi ya terjadi saja. Kita cuma perlu berjalan maju. Lagian ya, Jen,
kalaupun ada mesin waktu, pasti harganya mahal. Nggak ah. Sayang.
10.A:
Menurut kamu tidur siang itu penting nggak sih?
I: Penting banget buat Aprie. Kamu
kenal Aprie nggak? Dia juga ngeblog, lho! Di blognya sih dia bilang suka
semangka sama sepatu. Itu bo’ong. Dia suka sama mamasnya. Cuma nggak bilang
aja. aku nggak ngerti sih kenapa dia malah ngakunya suka sepatu sama semangka. Gitu
deh, Jen. Kamu ngerti kan ya maksudku?
11.A: Apakah pekerjaanmu sekarang sesuai
dengan cita-cita masa kecilmu?
I: Aku waktu kecil cita-citanya
mau jadi ustadzah, Jen. Hahaha. Sekarang jadi pengajar bimbel. Secara harfiah,
itu tercapai (dalam bahasa Arab, “ustadzah” berarti “guru [perempuan]”). Yay!
Oke. Itu sudah kujawab semua ya! Terima
kasih, Ajen! *cups*
Oh, bukan, bukan, ini nggak ada
kaitannya sama PLN.
Nggak usah mensen doi.
Lampu angkot di bagian penumpang mati.
Lampunya kecit (saking kecilnya)
banget. Nggak tahu deh itu berapa watt. Eh, ngomong-ngomong tentang watt, aku
ingat James Watt si penemu mesin uap yang sering muncul pas hafalan SD. Terus aku
ingat juga Watti, tokohnya Dee di Supernova: Petir (yang jadi kakaknya Etra). Jadi,
si Watti dan Etra punya bapak, bapaknya punya toko elektronik, makanya nama
anaknya begitu. Si Etra keren deh. Dia bisa menyalurkan kekuatan petir (dia
suka gitu sama petir) jadi pengobatan. Terus, apa hubungannya sama lampu angkot
mati? Em, nggak ada sik. Aku cuma nggak fokus aja. Emang nggak boleh? Apalo apalo?
Sekali lagi,
Lampu angkot di bagian penumpang mati. Semua
menganggap itu hal yang biasa sampai seorang bapak-bapak yang mirip sama Pak
Lek bilang, “Eh, lampunya kenapa tuh?”
Semua langsung fokus ke lampu. Lampunya
mengeluarkan asap! Aku ngeri-ngeri asyik bayangin ada om jin yang keluar dari
lampu itu terus mau mengabulkan tiga permintaan terus aku mikirin mau minta apa
aja gitu deh.
Nah, berhubung asap yang keluar makin
banyak—dan nggak ada om jinnya—si babang angkot matiin saluran lampu dari
depan. Lampu beneran mati. Keributan reda. Sebentar.
Nggak lama orang-orang hebih lagi. Saking
hebohnya (padahal karena tipo dan aku malas tekan tombol hapus di komputer). Orang-orang
heboh lagi karena ternyataaaa kabelnya kebakar dan langit-langit angkot yang
dari bahan karpet itu nyala (kayak lu nyundut karpet pake rokok gitu deh; kan ada
baranya tuh). Spontan si babang angkot turun dari singgasananya, dia buka
bajunya terus cabut lampunya pake baju itu.
Sayangnya oh sayangnya, itu kabel masih
menyala. Jadi kayak kabel bom yang di film kartun itu, lho! Di ujungnya udah
ada api yang siap menjalar. Di bagian depan, dekat bangku sopir, asap mengepul.
Orang-orang panik terus teriak-teriak, “Keluar, keluar!”
Jeder.
Geluduk terdengar.
Hujan turun dengan deras.
Eh, ini aku serius.
Waktu itu hujan deras banget dan
geluduknya juga gede.
Jadi kayak di sinetron gitu.
Orang-orang keluar dari angkot, berdiri
di jalan, dalam cuaca kayak gitu.
Babang angkot mengatasi sendiri itu
angkot yang mengepulkan asap. Nggak ada yang bantuin. Woh, angkotnya ngeri
banget! Udah berasap, terus macet, kanan-kiri-depan-belakang kendaraan semua! Beuh,
ngeri deh!
Aku cuma bilang sama Tuhan, “Ya Allah,
tolong bantuin abangnya… .”
Setelah beberapa menit, babang angkot
berhasil mengusir asap dari angkotnya. Fiuuuuh… . Dia memadamkan percik-percik
api kayaknya pakai baju yang dicopotnya. Habis itu, angkot baru dipinggirkan—dengan
dibantu bapak-bapak yang mirip Lekku itu.
Udahannya, kami diminta masuk lagi ke
angkot. Bukan untuk jalan lagi, tapi untuk nunggu angkot berikutnya. Angkot udah
nggak bisa jalan. Si babang angkot yang bertanggung jawab itu menelepon
teman-temannya.
“Lae, minta nomor lapo!”
Terdengar was-wes-wos dari hapenya.
“Lae, lae, pulsa gue abis, lae. Telepon
balik.”
Berhasilkah si babang 37 menelepon
temannya untuk minta bantuan?
Malangnya, tidak.
Akhirnya si babang 37 kami yang baik
itu jalan kaki ke Pangkalan Jati (tempat ngetemnya 37). Dia meminjam payung
ibu-ibu yang penampilannya kayak ustadzah di tipi.
Aku cepetin ya ceritanya.
Si babang 37 kembali.
Cumaaaa, masalah berikutnya, angkot
belakang ini sudah ada penumpangnya dan tersisa 8 bangku, padahal kami ada 9
orang.
“Bapak, Ibu, angkotnya cuma cukup 8
orang, empet-empetan nggak papah?”
“Nggak papalah, Bang. Yang penting
keangkut.”
Yang ngomong ini bapak-bapak berbadan
besar.
Selesai.
Kami pun pindah ke angkot berikutnya.
Tebak yang dempet-dempetan siapa?
Ya salah satunya pasti akulaaah!
Kenapa?
Karena badanku kecil dan ya… karena
badanku kecil. Syukurlah. Jadi muat.
Babang angkot 37 yang kedua ini dengan
aksen batak bilang,
“Ah, gimana mau narik. Angkotnya nggak
dicek.”
Agak sombong nggak sih dia?
Ntar dia ketula. Aku lanjutin deh.
Oh ya, di 37 yang kedua ini aku
langsung lihat lampunya. Lampu angkot normal. Aman. Insya Allah.
Perjalanan lancar jaya (dalam artian
tidak menemui kendala, cuma macet doang)… sampai jembatan tol!
Udah ya itu jembatan muatnya cuma mobil
dua (Satu dari arah sana, satu dari arah sini), eh si 37 ini mesinnya tba-tiba
mati.
Ulang.
Mesinnya tiba-tiba mati!
Matinya mesin tiba-tiba!
HUWAAAAAA~
Kami yang tadi dari 37 yang pertama
berpandang-pandangan. Nggak ada yang ganteng.
Eh, bukan, maksudnya, ngerti kan ya,
tadi abis kena musibah gitu angkotnya, terus sekarang dapat angkot pengganti
yang bermasalah juga? Kan ngeri ya? Iya.
“Kebakar lagi mesinnya?”
Entah siapa yang tanya begitu.
“Wah, jadi pulang nggak ini kita?”
Ada yang tanya begitu.
Itu lucu, tapi kan ini dalam keadaan
darurat. Jadi gimana mau lucuuuu?
Si babang nggak jawab. Aku jadi ingat
Desi Ratnasari dulu yang sering jawab, “No comment.”
Si babang 37 turun lalu berjalan ke
arah kiri angkot. Entah ngapain dia di situ. Ibarat motor, mungkin lagi nyela.
Zzzztttt… . Zzzzttt… .
suara angkotnya kurang lebih gitu.
Si babang 37 balik ke kemudinya. Coba men-starter. Kaga nyala, permisah!
Dia turun lagi. Mencoba lagi entah apa
yang tadi dilakukannya. Habis itu dia ke singgasananya lagi. Coba starter. Gagal lagi.
Kami makin panik.
“Tadi di pangkalan masih ada mobil nggak
sih?”
“Tauk deh. Nggak liat.”
Orang-orang di 37 kedua pada ngomongin.
Setelah bolak-balik beberapa kali, akhirnya
mesin pun menyala.
“ALHAMDULILLAAAAH!”
Seru bapak-bapak di sebelahku.
“Jadi ini kita pulang?”
“Iya, jadi, jadi, Bu,” sahut si babang
37.
Jeder.
Geluduk masih terdengar di langit sana.
Masalah sudah selesai?
Belum!
Sampai di Alhakim (itu nama hotel dan
kolam renang), si babang 37 panik. Pasalnya, di situ banjir!
Tadinya sempat ragu-ragu tuh si babang,
tapi akhirnya dengan keyakinan teguh hati ikhlasku penuh kami berhasil lewati
banjir itu. Iyeeeeyyyyy~
Lalu lagu apa yang melintas di benakku?
Lagu Ida Laila:
“INSYAFLAAH
WAHAI MANUSIAAA BILA DIRIMU BERNODAAA~”
Ringkas cerita:
Jadi, dari Pangkalan Jati – rumahku yang
biasanya 10 – 15 menit, waktu itu dua jam lebih! :O
Ada
sesuatu di antara kami. Ini tak bisa kujelaskan dengan logika kebanyakan. Ah,
sengaja kuceritakan kepadamu biar kau bisa bantu aku: sebenarnya apa yang
terjadi?
Tidak,
tidak, aku tidak bisa berkata ini hal yang buruk. Em, tapi, ah ya, kaunilai
sendiri saja setelah mendengar ceritaku.
Mulanya
rindu.
“Apa
kaurindu kepadaku hari ini?” tanyanya.
“Memangnya
kalau aku bilang ‘aku rindu kepadamu’ lantas kau akan muncul di depan pintu
kantorku begitu saja?”
Berikutnya
sesuatu yang aneh terjadi. Dunia tempatku berpijak sempat berputar beberapa
detik. Kukira aku kena vertigo atau akan pingsan atau ada gempa.
“Tidak
ada gempa,” begitu menurut temanku ketika kuutarakan pikiranku tentang gempa.
Teleponku
berbunyi. Tanpa menungguku bilang halo,
ia sudah menyambar di seberang sana, “Apa yang kaulakukan?”
Aku
bingung. “Apa yang kulakukan?”
“Ya,
apa yang kaulakukan?” tanyanya lagi.
Aku
makin tak mengerti.
Ia
menyahut tak sabar. Katanya, “Aku sekarang berdiri di depan pintu kantormu!”
Ah, Benar saja! Dia di sana! Aku melihatnya berdiri tepat di depan pintu kantorku.
Ini
tidak hanya sekali-dua kali terjadi. Tiap kali aku bilang kepadanya “Aku rindu
kamu”, tahu-tahu ia sudah muncul di depan pintu kantorku begitu saja, sehingga
kau barangkali bisa berpikir dia tiba-tiba muncul dari pot di depan kantor atau
dari kotak tisu.
Salah
satu hal yang mengesalkan adalah saat kau ditinggal tidur padahal kau sedang
sangat ingin mendengar suaranya. Kau menanti teleponnya, menanti suaranya
melantun dari seberang sana.
Yang
lebih mengesalkan, kau tidak bisa menyalahkan orang yang ketiduran. Tidur itu
anugerah, June. Tuhan memberi waktu istirahat untuk tubuh-tubuh yang lelah. Kau
tidak bisa menyalahkan orang yang tertidur di tengah pembicaraan atau tertidur
di tengah penantianmu yang menggebu. Kautahu mereka perlu istirahat.
Kau
memang akan mengecek jam berkali-kali. Kau mungkin juga akan mengambil buku
untuk kauhempas kembali karena sebenarnya kau hanya melihat huruf, tidak bisa
membaca. Pikiranmu sedang ada kepadanya.
Matamu
segar bugar, June. Kau takut kalau-kalau kau melewatkan telepon darinya. Kaupikir
ia bisa saja tiap saat membuat teleponmu berbunyi—biasanya dengan suara parau
ia akan bilang, “Aku ketiduran. Kamu belum tidur? Hoaahm….”
Kesal
dan lega berpadu sekaligus, June. Kesal karena santai sekali ia bilang begitu—padahal
kau menantinya dengan sangat. Lega karena akhirnya kau mendengar suaranya dan
penantianmu lunas sudah.
June, hai June, kaudengar aku?
Ah, kau tertidur juga rupanya. Bagus untukmu.
Pikiranmu sudah tenang, sehingga kau tidur lebih cepat daripada aku.
Makasih
ya sudah ngasih award ke aku. Ya emang,
aku tahu kok aku mirip Dian Sastro. *iyain aja biar cepet*
Aku
sebelumnya sudah pernah dapat Liebster
award, tapi waktu itu aku jawab di twitter. Rencananya, untukmu pun kujawab
aja gitu di twitter, tapi apalah daya rencana tinggal rencana. Kita manusia
cuma bisa berusaha. *apeeu*
Melalui
tulisan ini, aku cuma jawab pertanyaan yang sudah kauajukan di siniaja, ya! A itu berarti Abon, I itu berarti Ikaf. Ngerti ya? Ada pertanyaan?
Bentar,
ada pertanyaan dulu nggak? Jangan sampai menyesal kemudian ini.
Nggak
ada? Yakin? Nanti keluar di ujian lho!
Bener
nggak mau nanya? Eh lah, kamu kan udah nanya di blogmu ya? Aku kan tinggal
jawab ya? Bilang dong dari tadi, Bon! Jadi aku nggak ngetik banyak-banyak. Kan pegel
juga. Hih. Dasar cowok.
1.A: Mengenal blog dari mana, sih?
I: Ketemu aja di jalan, terus kami
kenalan gitu. Lama-lama akrab, tapi kami nggak jadian kok.
2.A: Udah berapa kali ganti blog?
I: Blog yang sekarang ini yang
kedua. Aku gagal dengan yang pertama. Aku cedih cekali. :(
3.A: Kalau makan soto pake tangan
langsung atau pake sendok?
I: Pake apa pun asalkan sama dia
mah asyik aja. Uwuwuwu~
4.A: Punya kenalan cewek yang jomblo
nggak? Kenalin bisa kaliiii.
I: Ta, tapi, aku kan cewek… . Em,
kamu punya Om ganteng yang jomblo? :B
I: Duh, soal sulit ini. Bentar ya,
aku pikir-pikir. Hmmm, apa ya? Enggg… . Tapi kalau aku kasih usul kamu mau
dengerin aku nggak? Apa kamu mau aku kasih pertanyaan? Etapi kan kamu yang
pengin bikin pertanyaan. Lah, terus aku harus gimana dong?
6.A: Oiya, hingga sekarang dapat apa dari
ngeblog?
I: Jadi gini, kalau kita selalu
mikir “dapat apa”, kita jadi nggak kreatif. Mestinya, kita yang memberikan
sesuatu. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Jangan mengharapkan
“dapat apa” dari blog, tapi “apa yang bisa kita beri untuk blog”. Gitu. Anak muda
itu harus semangat! Kan kata Bung Karno juga gitu. Tahu kan ya kata Bung Karno?
Ya gitu. Terus, kamu tahu nggak kalau Bung Karno dan Edward Cullen itu
sama-sama lahir tahun 1901? Ya seangkatan gitu sama aku. Kamu ngerti nggak sih
maksud aku?
7.A: Jalan-jalan yuk keliling Indonesia. Mau?
I: TMII maksudnya?
8.A: Bisa masak nggak?
I: Bisa. Mbak warteg kan?
9.A: Tipe blog lo itu yang kayak gimana
sih?
I: Aku mah nggak macam-macam. Yang
penting bisa jadi imam dalam ibadah dan sehari-hari. Terus, setia, penyabar,
penyayang, bertanggung jawab. Ganteng mah bisa diatur. Selama akunya cinta mah
dia bakal ganteng. Iya, semoga kami bahagia dan saling mencintai “lebih lama
dari selamanya” (kalau kata Khrisna Pabichara) dan “sepanjang usia Tuhan”
(kalau kata Aan Mansyur). Amin. *usap muka*
10.A:
Menurut lo, blog lo bermanfaat nggak buat orang lain?
I: Lumayanlah. Bisa dikasih award
gitu.
11.A: Mau ngucapin makasih ke gue nggak? Ngasih
uang gitu.
I: Oke. Punya kembalian lima puluh
ribu? Sini dulu kembaliannya.