Ruang Raja Ampat lantai empat, 10
Desember 2014
Teruntuk Barika
Wah, Barika,
Kaucuri
start! Ahahaha.
Ya,
ya, aku tahu, kaulakukan sebisamu. Terima kasih sudah berkenan mengirim surat untukku di tengah kesibukanmu
yang luar biasa itu.
Barika,
Sejak
kau membahas pertemuan awal kita di dalam suratmu, aku langsung tertarik ke
masa itu. Tahu-tahu aku berada di sebuah tempat dengan cahaya temaram syahdu.
Namanya Kedai Lentera, tempat berlangsungnya Malam Puisi Jakarta yang pertama.
Juni 2013. Aku melihat perempuan berkacamata, berambut panjang tergerai, dan
berbaju kota-kotak. Ia menyalami kami yang baru datang satu persatu. Hei, itu
kamu!
Ya, Barika,
Itu
kamu. Di Malam Puisi Jakarta kau membacakan “Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus
Bagaimana”-nya Gus Mus dengan suara lantang sambil berdiri. Di sana aku
membacakan beberapa tulisanku, salah satunya ini. Kautahu, kala itu merupakan pertama kalinya entah sejak kapan
aku “naik panggung” lagi. Rindu sekali rasanya dengan puisi. Rindu sekali
dengan ruang pribadi di publik. Aku pulang dengan tubuh meluap-meluap gembira.
Hasilnya, beberapa tulisan lahir. Ini,
misalnya.
Barika,
Pada
pertemuan Malam Puisi Jakarta berikutnya hujan turun. Aku sudah terlambat
semestinya. Karena hujan, ternyata yang datang baru kau. Tak lama kita malah
asyik bergunjing tentang Gus Mus (puisi-puisinya dan skripsiku), Gus Dur, lalu
ceritamu tentang muslim di luar negeri. Kau cerita cara orang di bandara
Singapura memperlakukanmu bak teroris ketika tahu kau muslim (kala itu masih
hangat berita tentang serangan 11 September), cerita kau yang diajak piknik
keluarga Korea, pula tentang orang yang terpaksa salat di toilet karena akan
membahayakan bila orang lain tahu dia muslim. Selain itu, kau juga cerita
tentang muallaf bule yang datang ke Indonesia. Mereka heran dengan perempuan
ber-tank top yang mengucap,
“Astaghfirullah!” ketika di angkot atau herannya mereka melihat betapa
lumrahnya orang berboncengan motor dengan yang bukan muhrim (ngojek gitu). Seru! Berikutnya, kau
bersedia mengirimiku “syi’ir tanpo wathon”-nya Gus Dur. Amboi, senang rasanya
bisa mendengar banyak hal baru!
Ah,
betapa mesin waktu adalah keniscayaan, ya! Dengan tuturan dalam suratmu, kita
bisa kembali begitu cepat ke masa perdana Malam Puisi Jakarta. Terima kasih
sudah berbagi denganku. Semoga segala kebaikan juga menempel kepadamu; semoga
kau dan cookie monster-mu bisa membina
keluarga samara.
Sebenarnya
masih ingin sekali kuterbangkan kata-kata kepadamu, tetapi aku harus
cepat-cepat karena mesti masuk ke kelas berikutnya. Yang sedang
terbayang-bayang di benakku sekarang adalah pertanyaan, “Mengapa tulang ikan
disebut duri?”
Ah
ya, karena aku sayang dia.
Dah,
Barika! *kecup*
Salam,
Ika Fitriana
n.b:
Oh
ya, salam untuk adikmu! Semoga Allah lekas menyembuhkan luka hatinya (dan luka tiap orang yang
patah hati di dunia ini). Pula semoga kelak ia menemukan kebahagiaan sejatinya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar