Bekasi, 17 Desember 2014
Teruntuk Dwi Ratna Fitriani
(balasan
untuk surat ini)
HEH, IGEND!
BONGKAR-BONGKAR
AIB DIH! HAHAHA.
***
Namanya
Dwi Ratna Fitriani. Fitriani, bukan Fitriana. Biasa dipanggil Dwi, Wiwi, Uwi,
Uwil, Kriwil, Adek, Igend, Lebar, atau Peski. Tergantung keperluan. Dia akan
menjelma menjadi “adekku yang cantik” atau “adikku yang baik” ketika kakaknya
minta dianterin atau minta dibeliin pulsa. Kakak minta pulsa. Mamanya nggak.
Dia
anak yang anteng dan nggak pernah cari masalah. Taaapiiii… jangan salah! Kalau dia
merasa terusik atau salah satu dari orang yang dikasihinya terlukai, dia akan
meradang paling duluan. Dia ikut aku masuk karate biar bisa balas orang-orang
yang memukulku sampai berdarah di pertandingan. Hahaha. Aku ingat sekali
tatapan marahnya waktu aku menangis karena bibirku pecah kena pukul (dan heiiii…
di surat dia bilang aku—AKU—galaak? Apa kabar dia? Ish).
Ketika
kedua orang tuaku jatuh dari motor, dia yang lari paling cepat menghampiri
keduanya. Dengan lekas dia berinisiatif memberhentikan motor yang lewat dan
meminta bantuan ini-itu, sehingga orang tuaku ditangani.
Waktu
kecil hobinya main layangan, main gundu, main bola, dan permainan anak lelaki
lain. Sehari-harinya adikku itu memang tomboy,
cuek, tukang tidur, malas-malasan, dan santai. Namun, bila harga dirinya terluka,
dia akan kejar orang yang melukainya meski orang itu dilindungi keluarganya. Nggak
ngerti deh, semasa kecil dia tahu kata “takut” atau nggak. Di sekolah juga hobi
berantem dengan anak lelaki yang
mengganggu teman-teman perempuannya—apalagi sampai bikin nangis.
Yang
mengerikan adalah saat kakinya masuk ke jari-jari roda sepeda (waktu itu
antar-jemput dengan sepeda). Ketika sampai rumah, dia nggak turun dari sepeda. Kami
heran. “Turun dong, Dek!” Dia cuma bilang, “Nggak bisa turun, kaki aku masuk ke
sini.” Berikutnya, kami tahu kakinya kepuntir
(kepuntir ki boso indonesiane opo
toh?). Nangis juga nggak anak itu. Bikin
yang lainnya panik. Kami langsung bawa ke tukang urut.
Fiuh.
Syukurlah kakinya bisa normal lagi.
Anak
itu macam-macam saja tingkahnya. Yang minum obat batuk kayak minum Aqua-lah. Glek-glek-glek. Hampir habis
sebotol lalu dia nggak bisa ngomong karena kelebihan obat. Emak? Jangan ditanya
paniknya. Igend memang suka minum obat. Siapa pun yang sakit, dia yang minumin
obatnya (aku terbantu banget dengan kesukaan adikku yang ini karena huek aku nggak suka obat atau jamu). Em,
sayangnya sekarang dia sudah nggak suka obat lagi semenjak minum obat tipesku:
cacing dalam bentuk kapsul.
Tentang
kerupuk yang diceritakan dalam suratnya, waktu dia masih bayi memang aku
menyuapinya dengan kerupuk. Kayaknya karena aku kasihan melihat mulutnya
gerak-gerak. Mungkin dia lapar dan mau minta kerupukku, tapi nggak bisa
ngomongnya.
Kala
aku belum memiliki kekasih, dengan baik hati ia bersedia mengantar atau
menjemputku ke mana pun selama ia bisa. Kini, ketika aku sudah memiliki
kekasih, itu masih sama saja. Hahaha. Lha ngapain aku ceritaaa?
Kekasihku
jauh, sih. Di bumi. Aku di planet otonom dekat matahari: Bekasi.
***
Adikku yang baik,
(tenang,
aku nggak minta pulsa kok. Bwek!)
Terima
kasih banyak atas suratmu. Kejadian buruk yang sudah kita alami semoga tidak
terjadi lagi di lain hari. Semoga Allah selalu melindungimu di mana pun kau
berada, memberimu petunjuk ke jalan yang diridhoi-Nya, dan semoga bahagia
selalu meliputimu. Ingat salat dan jaga diri baik-baik. Tetaplah rendah hati
dan selalu bersyukur.
Oh
ya, berhubung sekarang rambutmu nggak cepak
lagi kayak waktu kecil, sini aku kucir air mancur! Ya ya ya? Hahaha.
Kakakmu yang jenius nggak
selesai-selesai,
Ika Fitriana
Hihh, ikutan ngumbar aib dia mah hahahaha
BalasHapusBiarin weeeekkkk! :b
Hapus