Oktober
menjadi bulan yang paling wow sepanjang 2016 ini, bagiku. Pertama, aku mendapat
kesempatan sebagai moderator di acara “Membaca Chairil”. Kedua, aku menjadi
salah satu tamu undangan untuk peringatan Sumpah Pemuda di Istana Merdeka.
Ketiga, aku menjadi salah satu juri lomba puisi. Asyik banget!
Nah,
tulisan ini membahas diskusi “Membaca Chairil”. Horay!
![]() |
Atur tempat untuk diskusi |
Sebenarnya,
“Membaca Chairil” memiliki serangkaian acara: menyusuri jejak Chairil di Cikini
dan sekenanya, diskusi buku, hingga
malam puisi. Acara pertama, tur sejarah, menyusuri jejak Chairil, aku nggak
ikut karena harus gladi resik. Jadi yaa.. nggak bisa cerita apa-apa. Yang jelas
sih, tur sejarah itu dipandu oleh teman-teman dari Jakarta Good Guide. Mereka sering bikin acara tur sejarah gitu. Cek
aja acara mereka berikutnya.
![]() |
Ini dicomot dari @wulanparker deh kayaknya. Soalnya, ada Wulannya! Haha. Oh ya, itu suasana jalan-jalan menyusuri jejak Chairil dan suasana diskusi. |
Deg-degan dimulai ketika rombongan tur sudah
tiba di ke:kini dan bersiap untuk
mengikuti diskusi buku. Sekira pukul 17.30 diskusi buku Chairil karya Hasan Aspahani dimulai.
Acara
dibuka dengan pembacaan puisi oleh teman-teman dari Malam Puisi Jakarta: Edoy,
Riza, Syahrul, dan Danis. Baca
puisi apa? Tentu karya Chairil-laaahhh~
![]() |
Beuhh, gayanya Riza! Dihayati betul. |
Banyak
hal baru (dan menarik pasti) tentang Chairil. Aku curiga, jangan-jangan Bang
Hasan ini lebih tahu tentang Chairil daripada Chairil sendiri. Hahaha.
Habisnya, kau tanya apa, kurasa buku Chairil
bisa menjawab. Kalau nggak, ya tanya langsung kepada Bang Hasan.
Misalnya
nih ya, kau tahu Chairil sudah menetapkan cita-cita di jalur seni ketika
usianya 15 tahun? Padahal, ayahnya Chairil, Toeloes, orang yang cukup berada
dan sangat berharap Chairil jadi pegawai sebagaimana dirinya (emm, jabatan
bapaknya sih setingkat bupati, kalau disamakan dengan sekarang).
Chairil
itu usil sekali. Ini kita bisa lihat dari karya-karyanya. Dia cenderung
memberontak terhadap bahasa. Misalnya penggunaan kata “legah”, alih-alih
“lega”. Selain itu, ada kata dari puisi “Kenangan” yang menjadi bahan debat aku
dan teman-teman Malam Puisi Jakarta ketika rapat penentuan nama acara. Biar
kujelaskan dulu. “Membaca Chairil” adalah nama yang diusulkan Danis. Aku,
mengusulkan:
Chairil
Mereksmi Memberi Warna
|
Aku
jatuh cinta pada kata “mereksmi”. Aku cari di KBBI, tidak ada. Hasil googling waktu itu juga tidak memuaskan.
Meski begitu, aku tetap utarakan judul itu. Sebagaimana diduga, mereka yang
mendengar akan bertanya, “Mereksmi itu apa?”
“Aku
nggak tahu.” Ya, memang aku nggak tahu.
Kami
mulai berasumsi-asumsi. Aku pikir, mungkin mereksmi
itu ditegaskan oleh frasa berikutnya: memberi warna. Jadi, mereksmi sama dengan memberi warna. Namun, yah, itu cuma
ke-mung-ki-nan. Bukan yang pasti betul. Tidak mau berisiko, judul itu tidak
digunakan.
Dasarnya
lapar wawasan, aku dan teman-teman bergerilya dari teman yang satu ke teman
yang lain, dari grup yang satu ke grup yang lain, hingga dapatlah pengetahuan
bahwa mereksmi merupakan salah satu
bahasa prokem yang berkembang di Medan kala itu. Orang menggunakan bahasa kode
kepada yang lain. Kata kapan jadi kavanderpan. Semacam itu. Nah, mereksmi merupakan bahasa kode untuk mereka. Iya, mereksmi itu artinya mereka!
Gils. Aku jadi membayangkan ada orang
yang menulis puisi pakai bahasa “gaga”! Jadi gini:
Kagamuga segalagalugu diga hagatigakugu
Mamam.
Kembali
ke acara diskusi buku Chairil karya
Bang Hasan Aspahani. Dengan asyik, Bang Hasan cerita tentang Chairil yang
bertengkar dengan Asrul Sani karena masalah plagiarisme, Chairil yang dipukul
HB Jassin di belakang panggung ketika Jassin akan pentas, hingga keluarga
Chairil. Kau bisa baca sekilas tentang itu di buku Chairil, kok. Selebihnya, misalnya untuk tahu makanan favorit Chairil adalah ketan durian atau untuk tahu Chairil harus menulis untuk ditukarkan dengan Rp25,00 guna membeli salvasan atau untuk tahu puisi Chairil kesukaan Bang Hasan, ataauuuuu.. untuk tahu kalau buku ini akan difilmkan, ya kau harus bertemu Bang Hasan langsung. Hehehe.
![]() |
Berfoto bersama Bang Hasan ketika rapat |
![]() |
Dapat tanda tangan Opung Chairil dan Bang Hasan, dooong~ *pamer* |
![]() |
Rapat pertama bersama teman-teman Malam Puisi Jakarta |
![]() |
Rapat kedua, bersama Bang Hasan, Gagas Media, Jakarta Good Guide, dan pihak ke:kini |
![]() |
Bang Hasan kuminta membaca puisi Chairil favoritnya. Judulnya "Aku Berkisar di Antara Mereka". Yay! |
![]() |
Ketika sesi tanya jawab dibuka, banyak yang mau nanya, dong. |
![]() |
Kesamaan kami yang hadir di sana adalah satu: untuk Chairil |
![]() |
Para penanya mendapatkan goodie bag dari Gagas Media. |
![]() |
Ini sudah acara Malam Puisi. Bumi, motor Malam Puisi, sedang cerita tentang Malam Puisi di Indonesia |
![]() |
Gabriel Mayo membuka malam puisi |
![]() |
Moderator Malam Puisi kali itu: Ndigun |
![]() |
Bang Hasan membacakan naskah pidato Chairil |
![]() |
Al membacakan "Diponegoro" dengan dramatis! |
Rangkaian foto-foto di sini diunduh dari tagar Membaca Chairil di Instagram dan Twitter dan karena banyak yang diunduh akhirnya lupa itu foto jepretan siapa. Kiranya aku dapat maaf :(
![]() |
Tulisan tangan Chairil |
Akhirnya, terima kasih untuk Malam Puisi Jakarta, Gagas Media, Bang Hasan Aspahani, Jakarta Good Guide, dan ke;kini atas kesempatan yang sudah diberikan untuk memandu diskusi "Membaca Chairil". Saya merasa alhamdulillah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar