![]() |
Salah satu kapal nelayan |
Tulisan ini merupakan bonus. Hahaha. Karena ikut trip 3 pulau, aku mendapat bonus trip ke Muara Kamal. Lha, kan itu tempat berkumpulnya?
Nah,
itu dia! Gini ceritanya.
Kalau
pinjam istilahnya Payung Teduh, waktu kami tiba itu pagi terlalu pagi. Hahaha. Pukul
08.30 kami dijadwalkan berangkat, pukul 07.00 kami sudah tiba. Karena malam
sebelumnya tidur pukul 12-an dan bangun pukul 3-an, aku nguantukk banget! Itu sebab, ketika sampai di Masjid Nurul Bahar
(titik kumpulnya), aku langsung… makan piza! Haha. Kami memang beneran bawa
piza sisa semalam. Ada yang ulang tahun dan traktir piza.
Habis
makan piza… ya tidur!
Entah
anugerah atau apa, aku yang emang pada dasarnya gampang tidur di mana saja,
langsung tidur begitu badan rebah. Sampai pukul 08.00. Lumayan satu jam. Mata
nggak gitu jendul. Eh, apa malah
tambah? Bodolah. Bukan itu fokusnya.
![]() |
Pemandangan yang kutangkap sambil tidur-tiduran (terus tidur beneran) di Masjid Nurul Bahar |
Aku senang sekali ketika tour leader sudah datang. Berarti registrasi dan cepat berangkat, dong? Dong. Mas Rae, tour leader kami bilang, kalau sudah kumpul semua, kami jalan pukul 08.30 (sesuai jadwal). Sayangnyaaaa, ada grup peserta yang telat! Mas Rae datang lagi dan bilang kami berangkat pukul 09.00.
Uh.
Terus
ngapain dong kami selama menanti?
Kalau
aku tidur lagi, nggak cukup deh kayaknya tidur setengah jam. Aku keluar masjid
dan… jalan-jalan. Aku ajak seorang temanku untuk mengeksplorasi Dermaga Muara
Kamal.
Mulanya
aku hanya melihat-lihat perahu yang tertambat di dermaga. Banyak perahu nelayan
di sana. Berbagai model, berbagai ukuran. Ada yang semacam kano, ada yang
perahu besar dengan lampu-lampu yang banyak. Nun jauh di sana, agak tertutup
kabut, Yayasan Budha Tzu Chi. Hm, kupikir berarti aku di sisi lain hutan bakau
yang ada di Pantai Indah Kapuk.
Dari
sisi kiri aku mendengar sekelompok ibu-ibu sedang berbicara. Aku tidak mengerti
kode bahasa mereka. Belum pernah kudengar. Kalau yang bicara itu orang Betawi,
Sunda, Jawa, Minang, atau Batak, aku pasti tahu. Kuduga mereka orang Sulawesi
dengan berdasar aku melihat sebuah perahu bertuliskan “Putra Bone”.
Ibu-ibu
itu menurunkan sesuatu dari atas. Cara mereka menurunkannya seperti menurunkan
bendera. Apa itu? Ternyata ikan! Ikan-ikan itu dijemur! Aku masuk masjid dan
memanggil Kak Evi, temanku. Dia punya ketertarikan yang sama denganku. Kami
banyak menduga-duga hingga akhirnya memutuskan berkeliling.
Perkampungan
nelayan di Muara Kamal ini tampaknya dari suku yang sama. Kode bahasa mereka
senada. Aku makin penasaran.
![]() |
Menjemur ikan |
Rumah-rumah
mereka dibuat dari kayu dan bambu. Jalanannya pun. Ada sih beberapa rumah yang
berdinding keramik, tapi rumah itu terendam air—kemungkinan besar air laut.
Apalagi?
![]() |
Jalanan di perkampungan nelayan Muara Kamal |
![]() |
Rumah mereka dibangun di atas laut yang berwarna hitam dan baunya warbiyasak! |
Di
depan masjid, aku sempat melihat pecahan cangkang kerang hijau. Setelah
berkeliling, aku memahami bahwa masyarakat setempat memang membersihkan kerang
hijau. Mereka tampak mengetuk-ngetuk kerang hijau dengan menggunakan alat. Ada
beberapa titik tempat pembersihan kerang hijau.
Di
perkampungan tersebut ada kamar mandi umum berjumlah tiga pintu. Tampak seorang
ibu sedang mencuci baju. Mungkin itu air bersih, bukan air payau. Di masjid
sebelumnya aku melihat papan daftar nama warga yang sudah membayar “uang air
bor”. Tiap bulannya Rp25.000,00.
![]() |
Beberapa warga tampak membersihkan gunungan kecil kerang hijau (ada lho kami lihat gunungan kerang hijaunya lebih tinggi) |
Air-air
di tampung dalam wadah yang besar seperti tong atau ember-ember. Warga sekitar
menempatkan air di depan rumah. Ada anak yang tampak sedang mandi menggunakan
air tersebut. Untuk buang air besar, kami melihat seorang kakek buang air besar
di jamban. Semacam empang sih. Batasnya setinggi dada. Tidak tampak ketika
jongkok, tapi ya kelihatan ketika berdiri. Kotorannya? Ya langsung ke laut.
Sampah
banyak sekali di laut dan di jalan. Sudahlah lautnya hitam dan berbau (konon
karena limbah), penuh sampah pula. Ada sepasang muda-mudi yang sedang melintas
sambil minum. Saat minumnya habis, si perempuan membuang begitu saja gelas
plastik yang ia gunakan. Cantik sih, tapi suka nyampah.
Yang
menarik, rumah-rumah warga umumnya memiliki rak sepatu di depan rumah. Jadi,
selain air, mereka memiliki rak sepatu. Sepatu dan sandal di sana disusun rapi.
Kala
kembali ke masjid, kami melihat seorang kakek berkoko, bersarung, dan membawa
pisau sedang melihat sambil sesekali memerintah (kuduga sih, kode bahasanya aku
nggak ngerti, ingat?) orang-orang yang ada di perahu paling besar dan berlampu
banyak.
![]() |
Kapal khusus pembersih sampah di laut |
![]() |
Tiap rumah memiliki rak sepatu yang diletakkan di depan rumah |
“Mereka
ngapain, Pak?” tanyaku.
“Oh,
bikin patok. Buat menambat kapal.”
Orang-orang
itu memang sedang menancapkan sesuatu yang panjang ke dalam laut. Sekitar 5
orang bergotong-royong.
“Orang-orang
di sini kebanyakan orang mana sih, Pak?” lanjutku. Nggak tahan pengin tahunya!
“Oh…
dari Sulawesi.” Yes, dugaanku benar!
“Evi Masamba.”
Kami
tertawa. “Dia terkenal banget ya, Pak?”
“Iya.
Sama Ical.” Nah, yang ini aku nggak tahu. Kalau Evi Masamba itu kan yang ikut
kontes dangdut (ada gunanya juga Mama setel acara dangdut, aku jadi tahu Evi
Masamba, alhamdulillah).
Kami
lalu bertanya-tanya tentang ini-itu. Dari obrolan itu kami ketahui pandangan
warga terhadap reklamasi. “Sekarang sih, nelayan memang menang, tapi nggak tahu
nanti. Kami ini nelayan nggak punya duit. Hahaha.”
Bapak
yang seharusnya kutanyakan namanya ini sudah 50 tahun di Jakarta. Lima puluh
tahun! Kalau kata anak sekarang, gils!
![]() |
Reklamasi yang tampak dari Muara Kamal |
“Bapak
kenapa ke sini? Bukannya di sana (Sulawesi) lebih enak ya? Lautnya lebih bersih
pula.”
“Dulu
di sini juga bersih kok. Di sana banyak konflik.”
Jadi,
beliau menghindari konflik dan memilih merantau ke Jakarta. Beliau tampak
khawatir betul dengan (efek) reklamasi. Aku lantas teringat sepanjang jalan
mulai dari pelelangan ikan hingga di dermaga ini, banyak tulisan yang isinya
menolak reklamasi atau hujatan terhadap Ahok.
Memang,
menurut seseorang di Onrust, akibat reklamasi, ketika pasang, rumah para
nelayan di Muara Kamal akan banjir (kami melihat salah satunya).
Aku
yang nggak ngerti-ngerti amat tentang reklamasi dan efeknya, bingung harus
merespons apa. Jadi aku merasakan saja emosi si Bapak narasumber kami. Beliau
tidak marah-marah dengan berapi-api, nggak, justru sebaliknya, sangat tenang.
Tapi ya itu, aku merasakan kecemasannya. Cemas terhadap masa depan.
![]() |
Reklamasi tampak dari perahu kami |
![]() |
Dermaga pulau baru |
![]() |
Beberapa bagian laut diberi bambu-bambu. Ini buat apa sih? Tahu? |
![]() |
Cantik ya? Semoga anak-cucu kita bisa melihat pemandangan bagus begini! |
![]() |
Terima kasih sudah berkunjung dan heiii... kami akan dibalap sama kapal yang di belakang! |
Tulisan sebelumnya tentang trip 3 pulau:
1. Kelor
2. Onrust
3. Cipir