“Orang
miskin jangan mau mencari kebenaran sejarah, bahkan sejarah dirinya sendiri.”
Apa
maumu sebenarnya dengan kalimat begitu, ha? Mengapa ada “orang miskin”?
Diskriminatif sekali kau!
Makan
apa kau sehingga bisa bilang kalimat provokatif macam begitu?
Tunggu,
biar kutebak.
Begini
kau berpikir.
Sejarah,
mengandung berbagai kepentingan. Pembuat sejarah merupakan pihak terkuat pada
masanya. Napoleon Bonaparte bilang bahwa sejarah adalah kebohongan-kebohongan
yang disepakati.
Sejarah
menjadi eksklusif. Sejarah menjadi badan lentur pemain akrobat. Sejarah menjadi
lap pel yang mudah dipelintir.
Harga
sejarah, Sayangku, kautahu, seharga nyawamu. Kau bisa dengan mudah menukarkan
kebenaran sejarah dengan nyawamu. Pilihannya menjadi: kau mati atau sejarah mati—ah,
atau matilah kau bersama sejarah.
Miskin
itu, Sayangku, punya apa? Miskin.
Kehendak
pun miskin. Mana pula hasrat mengenali diri tumbuh? Bibit-bibit penasaran
diberantas. Barangkali ini seumpama kata “merdeka” pernah menjadi begitu tabu,
dipikirkan saja tidak pantas.
Sejarahnya,
sejarah dirinya, kehidupannya, sudah siap dicatat oleh pemegang pena—menurut
kacamata si Pemegang Pena tentu. Si Miskin, Sayangku, yang pena saja tidak
punya, kehendak memiliki pena pula tidak ada, bagaimana hendak ia ada?
Bagaimana buku sejarah bisa menerbitkan namanya?
Sejarah
itu mahal, Sayangku. Bertukar dengan nyawa.
(12 Januari 2015)
Ini tulisanmu paling gendut, berat.
BalasHapusIya, aku kepengin rada gendutan emang.
Hapusnanti kan kita mau makan seteiiikkk
HapusSeteikkk yang mahal itu? Huyeah, ditraktiiir~
Hapusiya ini berat banget :P
BalasHapusNgeledek ya? Pake melet begitu.
HapusUdah lama ngga blog walking. Uda lama pula ngga baca tulisan Ikaff.
BalasHapusTulisan yang ini kok rasanya lain yah? Ada yang meledak-ledak gitu.
Well, something new nih! :D
Ah, selamat datang (kembali), Eva!
HapusIya, ini kayaknya karena pernyataan awalnya bikin aku esmosi jiwa. Em, aku berharapnya semoga "something new" ini mengarah ke hal baik ajalah ya. :D