Biasanya
dia sering kentut. Makanya dijuluki “Bayu Kentut”. Irama kentutnya seperti
dering bel sepeda dan aromanya seperti roti panggang. Orang-orang tiada yang
keberatan menghidu aroma kentutnya.
“Mengapa
kentutmu beraroma roti panggang dan berbunyi seperti dering bel sepeda
sedangkan kentut orang lain berbau telur busuk dan berirama seperti baju
robek?” tanyaku suatu kali.
“Aku
tidak tahu, tetapi ibuku punya teori.”
“Apa
itu?”
“Menurutnya,
kentut adalah sebuah bentuk ekspresi. Kelegaan. Kelegaan karena sebelumnya
orang tersebut memendam sesuatu. Nah, orang yang kentutnya berbau busuk,
menurut ibuku, mereka sebelumnya memendam hal yang tidak baik.”
“Oh,
ya?”
“Entahlah.”
Pikiranku
berjalan sendiri. Aku mengingat-ingat saat dia kentut. Tidak ada kesamaan waktu
kejadian kentutnya. Dia sering kentut kala pelajaran berlangsung, pernah juga
ketika istirahat, bahkan pernah di perpustakaan yang sunyi itu. Suara “kring”
terdengar dari pantatnya. Satu sekolah tahu irama dan aroma kentutnya.
Tidak
ada kesamaan waktu kentutnya. Namun, aku memiliki teori yang menarik. Mulanya
aku pikir aku hanya kegeeran. Setelah
beberapa kali membuktikannya, aku yakin teoriku benar: ia pasti akan kentut
tiap kali ia berhasil menyatakan rindunya kepadaku.
Ah,
tetapi itu dulu. Sekarang aku bertemu dengannya di reuni ini. Perutnya membuncit
seperti perempuan yang hamil sembilan bulan. Menurut dugaan teman-temanku yang
dokter, barangkali ia terkena sirosis dan mesti transplantasi liver.
Mendengar
itu, ia hanya tersenyum lemah sambil menggenggam tangan perempuannya. Kami
tidak bertukar sapa. Sudah beberapa tahun ini begitu. Namun, aku tahu dan
meyakini benar penyebab perutnya menggendut. Kala ia mesti dibedah nanti,
mungkin para dokter akan terheran-heran mendapati bahwa isi perutnya adalah
namaku—dalam jumlah banyak.
(18 Mei 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar