“Suatu
saat nanti, kalau aku menikah bukan denganmu, apa kau akan menangis, Dani?”
“Em,
nggak. Kamu, Er?”
Kamu
tiba-tiba teringat percakapan itu beberapa tahun yang lalu. Kamu bertanya-tanya
sendiri, apa Eri akan datang hari ini?
Sebentar
jawaban terbentang. Kamu melihatnya datang sendiri. “Dasar wanita keras hati,”
begitu pendapatmu dalam hati. Ia bergaun merah marun. Dekat dengannya selama
tiga tahun cukup membuatmu paham warna itu bukan jenis warna yang ia pakai
sehari-hari. Warna khusus.
Mengapa ia datang sendiri? Sengaja datang
sendiri atau memang belum punya pasangan? Jika belum memiliki pasangan,
mengapa? Ah, kamu sadar kamu masih peduli kepadanya.
Tibalah
ia di depanmu. “Selamat menikah, Dani,” begitu katanya seraya menjabat erat
tanganmu. Kamu merasa istrimu yang berdiri di sampingmu bergerak-gerak gelisah.
Kamu tahu betul ia paling cemburu dengan Eri, gadis masa lalumu.
Kamu
berusaha mengimbangi senyumnya. “Terima kasih, Eri.”
“Ah,
ya, Dan, tentang pertanyaanmu dulu, kurasa jawabannya: tidak. Bukankah salah
satu sumber kebahagiaan adalah dengan melihat kebahagiaan orang lain?” ujarnya
sambil tersenyum lalu pergi dari hadapanmu.
Kamu
tahu benar ia berbohong. Akting omong kosong.
(25 Desember 2013)
Padat dan bikin nyes mbak
BalasHapus:'(
Hapus