Bandung
menjadi salah satu kota yang dingin bagiku. Namun, 17 Mei 2015 lain. Aku
mendapati bahwa Bandung cukup dekat dengan matahari—dan hei, kau masih bilang
Bekasi yang sejengkal dari matahari? Bandung panas sekali ketika aku datang.
Dalam
rangka menghirup aroma hijau, aku terbang (ya kan aku bidadari!) ke Bandung.
Sekitar pukul setengah 9 aku sudah di taman balai kota. Tempat ini menjadi
tempat yang betul kuperlukan: pohon rindang, udara segar, burung bernyanyi, dan
bus tingkat!
Beragam
kegiatan orang di taman balai kota: latihan parkour,
latihan tari, main bola dengan kelompok kecil, main bulu tangkis, belajar
jalan (bagi balita), konser tim persib, dan uhm, pacaran! Yah, sebagaimana
lazimnya taman yang lain, kupikir.
Ada
kolam besar dengan patung badak di bagian tengah. Jangan tanyakan kepadaku
alasan badak itu ada di situ, nggak tahu. Mungkin ketinggalan rombongannya
waktu mandi dan teman-temannya sudah balik ke kayangan.
Kalau
kaupejamkan matamu sebentar, suara yang akan kaudengar: cicit burung, tawa
orang-orang, desing pesawat (cukup rendah pesawat terbang di sini, mirip
emaknya burung), dan lagu-lagu konser dari pengeras suara.
Ketika
kau fokus ke penciumanmu, kau akan menangkap berbagai aroma: makanan (sate
entah apa hingga kerak telor!), pohon, tanah, dan aroma segar sabun mandi
bercampur parfum orang di sampingku. Seru, ya! Sayang, di tempat ini aku tak
sempat berfoto karena sibuk menikmati (nggak sempat naik bus tingkat juga,
uh!).
Dari
balai kota kami—aku dan kekasih—berjalan kaki ke alun-alun. Untuk mencapai
alun-alun, kami melewati area car free
day (CFD) di Jalan Asia Afrika. Langkahku
terhenti. Bumi manusia!
Ya,
begitulah. Di area CFD aku menyadari betul bahwa ternyata manusia di Bumi ini
banyak, ya! Ummm… dan aku harus melewati orang yang banyak itu untuk ke
alun-alun?
Kepalaku
langsung pusing.
Mudah
sekali mabuk. Nggak perlu ngebir, lihat orang banyak saja sudah mabuk.
![]() |
Salah satu gedung bersejarah di Bandung |
Sampai
alun-alun, kami sarapan kupat tahu—eh, aku
yang makan kupat tahu, dia batagor. Bagi yang belum tahu, kupat tahu itu
beda dengan ketupat sayur lho, ya! Kupat tahu lebih mirip dengan ketoprak:
lontong, tahu, tauge, kerupuk, dilengkapi dengan bumbu kacang. Sepuluh ribu
satu porsinya.
Alun-alun
itu tampak seperti pelataran masjid biasa saja bagiku. Yang membedakan memang
karpet rumput hijau yang terhampar (kayaknya di banyak tempat di Bandung
menggunakan ini) dan ada labirin (yang mirip permainan COC!). Di bagian lain
ada jungkat-jungkit untuk anak-anak. Sayangnya, jumlah jungkat-jungkit dan
ayunan di sana hanya sepasang. Tidak sebanding dengan jumlah anak-anak yang
antre. Semoga di masa yang akan datang jungkat-jungkit dan ayunan di sana bisa
ditambah agar tak banyak anak-anak yang menangis karena terlalu lama antre.
Di
alun-alun kami tidak lama. Terlalu banyak orang. Lagipula, aku sedang mencari
pohon rindang dan rumput betulan.
Akhirnya,
kami menuju destinasi utama kami: Bukit Moko. Bila di Balai Kota dan alun-alun
pengunjung tidak dikenakan biaya (selain untuk parkir dan keperluan pribadi),
untuk masuk ke Bukit Moko kita harus membayar Rp8.000,00. Murahlah.
Kami—em,
sebetulnya dia sih—memasang hammock (tempat
tidur gantung) di antara pohon pinus. Selebihnya acara kami adalah tidur. Dia yang tidur. Aku tidak bisa. Gimana bisa,
tiduran belum lama, aku sudah menggigil kedinginan. Tangannya tak bisa kugapai
jadi tidak bisa menghangatkan.
![]() |
Sambil menunggu hammock dipasang, aku foto kakiku aja. Calon surga. |
![]() |
Melihat gayanya memasang hammock, aku jadi teringat Superman. Barangkali begini gaya Superman nyangkutin jubahnya setelah terbang. |
![]() |
Hammock yang sudah terpasang dan siap untuk ditiduri! |
Karena
kedinginan, aku berjalan sendiri melihat pemandangan. Aku berniat mencari
hangatnya matahari di hutan pinus yang dingin ini. Cahaya matahari ada, tapi
tidak menghangatkan.
Matahari
baru terasa cukup hangat di Puncak Bintang. Masih bagian Bukit Moko. Disebut Puncak
Bintang karena memang ada bintang yang besar sekali terpancang di sana.
![]() |
Ini yang kulihat sambil tiduran. |
![]() |
Pemandangan berkabut Kota Bandung |
![]() |
Puncak Bintang |
![]() |
Jalan setapak menuju Puncak Bintang yang sudah oke. Kalau tempat kami bersantai, jalanannya masih tanah. |
![]() |
Ada perkebunan di sekitar Bukit Moko ini. |
![]() |
Hem, jadi tinggiku bukan 158 cm? |
Oh
ya, untuk bisa ke Bukit Moko, kita harus membawa kendaraan pribadi. Tidak ada
transportasi umum di sana. Jalannya cukup ekstrem, kau perlu teknik mengendarai
yang mumpuni dan kendaraan yang sehat untuk bisa parkir di tempat terdekat
dengan Bukit Moko. Kalau nggak, ya parkir di bawah lalu jalan kaki untuk ke
Bukit Moko.
Ini
kucatat beberapa hal yang perlu dipersiapkan kalau mau ke Bukit Moko:
1.
Makanan di sana (warung terdekat dengan
Bukit Moko) mahal sekali. Kalau mau makan, kusarankan yang letaknya di bawah
saja. Cuma memang siap-siap nanti naik lagi. Bilang ke petugas tiket Bukit Moko
kalau kita akan balik lagi. Kami makan di Sindang Rahayu. Harganya lumayan
murah. Aku beli nasi goreng dengan isian sosis, telur, dan irisan ayam seharga
Rp15.000,00 (dan dapat air mineral gelas gratis!). Nasi gorengnya enak banget
buatku! Nasi tutug oncom seharga Rp18.500,00. Nasi tutug oncom dilengkapi
dengan ayam goreng. Kalau menurutmu masih terlalu mahal, bawa bekal sendiri
saja, ya!
2.
Tidak banyak yang bisa dilakukan di
Bukit Moko. Kau bisa membawa hammock untuk
bersantai, membawa gitar untuk asyik bersama teman-teman, atau bikin kegiatan
sendiri.
3.
Jarak antara parkir bawah dengan Bukit
Moko itu cuma 500 meter, taaapiiiiii… tanjakannya ekstrem! Sebaiknya gunakan
pakaian yang nyaman dengan alas kaki yang bisa dipakai untuk naik gunung. Jangan
pakai wedges atau hak runcing, Mbak!
![]() |
Mari berbahahahagia! |
(21 Mei 2015)
Hahahaa, ini kah salah satu kisah perjalananmu di tempat hijau yang tidak bisa ditulis panjang-panjang yang dapat menyembuhkan jiwa raga itu?
BalasHapusYang ini panjang sekali dibandingkan tulisanmu lainnya dan ada banyak foto pendukungnya lagi.
Kalian sampai sore dan malam tidak di sana?
Daya tarik utamanya justru melihat sunset dan city light.
Btw, kok muka kekasihmu tampak sangat familiar yah. Apa kabarnya dia? he he he.
Ahahaha.. Bukan, bukan, bukan ini yang mau kutulis. Yang kumaksud itu belum berhasil aku tulis (dan bukan tentang alam hijau).
BalasHapusTentang nulis panjang, iya sih di sini napasku lumayan panjang. Aku berharap orang bisa menikmati Moko sepaling-palingnya. Terutama bagian mainan anak-anak, aku harap Pemda Bandung atau pihak terkait bisa betul memperhatikan.
Kami tidak sampai malam di sana, Va. Sudah jadi es doger aku kalau malam masih di situ. Mungkin lain kali.
Btw, hahahaha.. Kabarnya kau tanyakan sendiri sajalah.
Klo ke Puncak Bintang lebih baik bawa tenda buat di camping ground Puncak Bintang-nya, bayar sih tapi view disana memang bagus buat liat sunset dan sunrise.
BalasHapusBuat makanan disana memang relatif mahal seperti di (Wr. Daweung Moko) tp ada yang lebih MURAH dan menu-nya dipastikan ENAK dan BERSIH kebetulan ya di Wr. sindang Rahayu.
Untuk jalan sekarang sudah bagus tidak lagi bebatuan atau tanah dan tempat parkir sebenarnya harusnya yang diatas (diatas jajaran warung2 yang berderet) klo dibawah itu parkir liar.
Semoga informasinya membantu barangkali berniat untuk tahun baruan 2015-2016 disana. Thanks
Sip, makasih, Yogi. Manfaat sekali!
HapusKlo ke Puncak Bintang lebih baik bawa tenda buat di camping ground Puncak Bintang-nya, bayar sih tapi view disana memang bagus buat liat sunset dan sunrise.
BalasHapusBuat makanan disana memang relatif mahal seperti di (Wr. Daweung Moko) tp ada yang lebih MURAH dan menu-nya dipastikan ENAK dan BERSIH kebetulan ya di Wr. sindang Rahayu.
Untuk jalan sekarang sudah bagus tidak lagi bebatuan atau tanah dan tempat parkir sebenarnya harusnya yang diatas (diatas jajaran warung2 yang berderet) klo dibawah itu parkir liar.
Semoga informasinya membantu barangkali berniat untuk tahun baruan 2015-2016 disana. Thanks