“Aku
nggak ngerti, deh!” Kukuh berkata sambil mematikan mesin mobilnya. “Hobi banget
antre buku gratis.”
“Aduh,
Sayang, itulah seninya menanti,” jawabku ke arahnya.
“Apanya
yang seru dari menanti?”
“Hahaha…,”
tawaku berderai. Aku sudah tahu ia akan protes-protes macam begini. “Kamu,
sebagai pihak yang dinanti, tentu nggak ngerti keindahan menanti.”
“Hei,
kamu lagi nyindir aku, ya?”
“Ih,
ge-er. Aku cuma ngomong, kamu aja yang ngerasa tersindir.” Aku turun dari mobil
lalu menutup pintunya.
Belum
puas, Kukuh menjejeri langkahku dan berkata, “Kamu kan tahu risikonya, Si… .”
Aku
memotong cepat, “Bolak-balik Jakarta – Bremen, jalanin perusahaan keluarga
sambil kuliah. Ya, kurasa aku tahu itu.”
“Nah…
.”
“Tadi
kan yang aku omongin antre buku gratis… .”
“…dan
kamu ngaitin dengan aku, Si.”
“Kan
aku bilang kamu kegeeran.”
“Tapi
emang gitu, kan?”
Bagi
orang yang tidak mengenal kami, barangkali sudah berpikir kami sedang
bertengkar. Sebenarnya tidak. Beginilah cara kami berkomunikasi. Beginilah
ungkapan rindu kami setelah berbulan-bulan tidak berjumpa.
“Duhai,
Kukuh-kukuh yang lucu… .”
“…itu
kupu-kupu!”
Aku
mengabaikan protesnya. “Ngantre buku gratis itu seni. Lebih puas ketika kita berhasil
mendapatkan buku itu setelah menanti.”
“Kamu
kan bisa tinggal beli aja.”
“Iya,
tapi kan nggak seru… ,” aku merajuk.
“Kamu
aneh, ih!”
“Makanya
kamu suka. Hahahaha… .”
Sebuah
sentuhan ringan mendarat di kepalaku. Dia tersenyum lalu katanya, “Tapi nanti
aku nggak… .”
“…antre.
Iya. Terserah. Kamu boleh, deh, keliling-keliling sana.”
Sementara
mengobrol, kami hampir tidak menyadari kami hampir sampai. Sebuah toko buku
gabungan dua atau tiga ruko dengan warna dominan merah menyambut kami.
Tumpukan
buku begitu menggiurkan. Aku sering mengkhayal bisa memiliki perpustakaan dan
toko buku sendiri. Pasti menyenangkan.
“Aku
pikir kamu bakal jadi orang yang antre di urutan pertama,” ujar Kukuh. Matanya
mengarah ke satu titik lalu melanjutkan katanya, “ternyata udah ada yang antre.
Padahal baru jam setengah 11.” Ia mengecek jam tangannya.
“Ini
Rectoverso, Kukuh. Rectoverso!” seruku. “Siapa yang nggak
kepengen buku gretong? Rectoverso
pula!”
“Ya,
tapi kan dibagiinnya masih nanti jam 1.”
“Pasti
banyak banget, nih, yang antre. Aku langsung antre aja, ah!” Aku mempercepat langkah
menuju tempat antre.
“Kalau
buku aja, semangat banget!” gumam Kukuh.
“Hei,
aku denger, lho!” sahutku, berbalik sekilas ke hadapannya lalu berjalan lagi
memunggunginya. “Sana kalau mau ke bagian otomotif atau apa.”
“Aku
jauh-jauh dari Jerman cuma untuk ditinggal,” gumamnya lagi.
Aku
hanya tersenyum kecil sambil terus berjalan menuju antrean.
|
gambar diambil dari sini |
(Tulisan ini diikutsertakan dalam #ProyekCinta
@BintangBerkisah)